Di awal Agustus itu,
"Ibu, ayah mau berangkat kerja ya?" tanya seorang anak kecil yang baru saja bangun pagi. Dia mendapati ayahnya sudah rapi. Anak yang berusia genap lima tahun lima bulan yang lalu itu menghampiri ibunya yang sedang menyeduh susu vanila kesukaannya.
"Iya, sayang. Ayo cepat mandi sana. Sudah jam segini." ibunya terlihat masih repot dengan pekerjaan di dapur.
"Iya, bu."
Anak yang baru menginjak bangku nol besar taman kanak – kanak swasta didekat rumahnya ini kemudian berjalan kea rah tempat penjemuran di luar rumah. Dia mengambil handuknya yang selalu tergantung disana seusai mandi. Begitu juga handuk–handuk anggota keluarga yang lainnya.
Pintu kayu yang biasanya agak susah dibuka bila hujan kini sudah kembali normal lagi. Musim kemarau yang berjalan seperti biasa kini menyebabkan pagar rumah yang sulit dibuka karena memuainya besi yang terkena panasnya cuaca.
"Jangan lari–lari. Nanti jatuh!"
Ibu anak itu memarahi dengan penuh kasih sayang anaknya yang berlarian menuju kamar mandi di sisi belakang rumah itu.
Rumah yang mereka tempati adalah rumah dengan bangunan yang dibangun memenuhi lahan yang ada. Rumahnya tidak besar, hanya rumah kecil sederhana di pemukiman penduduk asli di timur ibukota.
Rumah itu dibangun dengan bantuan pihak dari ibu anak itu, dibantu sedikit tabungan dari kepala keluarga di rumah itu, dan dirancang oleh kakak ipar laki–laki kepala keluarga itu.
"Cepat ya sayang mandinya. Mobil jemputan sudah mau datang." ibu anak itu mendatangi bagian luar pintu kamar mandi dimana anaknya mandi pagi itu.
Lokasi taman kanak-kanak yang berbeda dua kecamatan dari rumah mereka dan banyaknya murid yang tersebar di berbagai wilayah dekat yayasan sekolahnya yang menyediakan pendidikan taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas ini membuat terbentuknya jasa antar jemput yang menyediakan berbagai pilihan rute yang dapat dipilih. Mobil antar jemput tiap rutenya mengantar jemput anak–anak dari berbagai jenjang pendidikan yang tersedia.
Hanya saja, peminatnya dari murid siswa tingkat sekolah menengah atas memang sedikit. Mungkin karena faktor umur yang tidak mau dianggap anak kecil lagi.
Beberapa menit kemudian, anak tadi keluar dari kamar mandi. Dengan hanya terbalut handuk hello kittynya dia berjalan menuju kamarnya untuk berganti pakaian sekolah.
^
"Buu.." anak itu berjalan keluar kamar menuju ibunya yang sedang duduk santai di ruang tamu. Keringat sudah mengalir di leher ibunya dan membasahi pakaiannya dibagian punggungnya. Sepertinya ibu anak itu baru menyelesaiakan beberapa pekerjaan di dapur.
Walaupun sudah bisa memakai pakaian sendiri, terkadang ibunya harus merapihkan pakaiannya lagi agar terlihat rapi. Anak ini juga belum bisa menguncir rambutnya sendiri, sehingga dia harus meminta bantuan ibunya.
"Duduk sini." kata ibu anak itu sambil meraih kursi kecil plastik bergambar yang sedang tren saat itu dan mengarahkannya kearah depan tempat duduknya diantara kedua kakinya yang ia luruskan kedepan.
"Iya, bu." anak itu kemudian duduk di kursi kecil plastik bergambar tadi.
Ibu anak itu kemudian meraih sisir yang dia sangkutkan dirambutnya dan mulai menyisir rambut malaikat kecilnya itu. Dia sebelumnya membuka kepangan rambut anaknya yang dia buat kemarin sore setelah anaknya itu mandi sore.
Dari atas kebawah dia merapikan seluruh sisi rambut anaknya itu dengan perlahan karena rambutnya sudah sempat kusut karena dibawa tidur semalaman.
"AU! Sakit Ibuu." ringis anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Underneath Expectation, Above Dreams: Maddy
RomanceMaddy hanyalah seorang karyawan kantor biasa sampai suatu ketika dirinya menjadi buah bibir orang-orang di kantor yang resah karena junk mails pria-pria genit yang ingin melamar Maddy masuk ke inbox setiap komputer di kantornya. Pak Aris, bos Maddy...