BAB III

2 0 0
                                    


Maddy mengedip–ngedipkan matanya memastikan apa yang sedang dilihatnya. Sesosok pria terlihat duduk di meja di depannya menghadap ke arahnya.

Dia sendirian disana dan hanya membaca beberapa lembar kertas. Pria yang dia jumpai diperpustakaan itu ada dihadapannya. Hari ini dia terlihat sedang penat, dilihat dari gerak–geriknya yang gelisah.

Maddy memandangi sosok pria berkemeja abu–abu tanpa dasi menggantung di lehernya yang duduk beberapa meter dari dirinya itu. Pria itu menggulung kedua tangan kemejanya sebatas bahu. Dia mendapati alis pria itu terkadang mengernyit membentuk lekukan tajam.

Dia sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

Aku?

Maddy tidak melanjutkan membaca novel keduanya ini. Dia tertarik magnet yang sama seperti yang kemarin. Namun, kali ini dia merasa medan gravitasi di dalam dirinya lebih besar tertarik ke arah kutub magnet pria tersebut.

Maddy menahan dirinya dengan menyilangkan tangannya di atas meja dan berusaha duduk rileks. Dia mengalihkan pandangannya dari pria itu. Dia ingin membaca novel lagi, tetapi konsentrasinya buyar.

Tiba–tiba Maddy merasa gaya magnet itu sudah semakin keterlaluan. Dia ingin tahu alasannya apa dan akhirnya dia pun mengetahuinya. Maddy menatap ke depan dan mendapati pria itu mendapati dirinya. Kedua bola mata mereka saling memandang dan terperangkap dalam waktu yang cukup lama.

Tatapan mata pria itu seolah–olah mencari dokumen masa lalu yang tersimpan di dalam memori otaknya. Dengan kapasitas kerja yang cepat, dia pun mengenali seseorang yang menatapnya di hadapannya sekarang. Pandangannya semakin dalam sebagai bukti dia mengingat sesuatu.

Maddy terjerembab di tempat duduknya tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Pria itu bangkit dari tempat duduknya meninggalkan aktivitasnya dan berjalan kearahnya. Postur badannya yang tegap membuat pria itu berjalan layaknya model. Pria itu sudah seperti bandul bagi Maddy, karena wanita muda ini tidak bisa melepaskan pandangan dari bandul yang telah menghinoptisnya.

Setiap langkah yang dibuat oleh pria itu terasa lama bagi Maddy. Maddy ingin segera lepas dari situasi canggung seperti ini. Relativitas waktu baginya saat ini berjalan lebih lambat dari biasanya. Maddy lebih memilih terjebak di kemacetan Jakarta dibanding harus duduk di kursi yang dia duduki sekarang.

"Boleh aku duduk di sini?" izin pria itu.

Waktu terasa makin lama untuk Maddy. Dia mengangguk dan dengan terbata–bata menjawab, "Iyaaa."

Pria itu menarik kursinya ke arah luar dan duduk dengan santainya, sementara Maddy sudah menggila di dalam dirinya.

"Kamu yang kemarin di perpustakaan, kan?" tanya pria itu.

"Eh, iyaa," Maddy masih canggung.

"Sering ke sini juga?" tanya pria itu lagi.

"Dulu. Sekarang baru sempet ke sini lagi karena selama ini aku sibuk sama urusan kantor. Kemarin aku bisa ke perpustakaan karena cuti. Hari ini juga." Maddy tiba–tiba kaget dengan dirinya sendiri.

Mengapa aku berbicara sebanyak itu?

Senyuman antusias terlukis di bibir pria itu. Hal ini membuat pipi Maddy memerah. "Sepertinya kamu sibuk sekali ya?" pertanyaan kembali dilontarkan kepada wanita yang ada di depannya..

"Tidak." balas Maddy cepat.

Pandangan pria itu tertuju kepada suatu benda yang berada di dekat wanita yang duduk didepannya sekarang. Itu adalah novel yang dia ingin baca kemarin. "Novel yang kemarin ya?" pria itu menunjuk ke arah novel yang dia maksud.

Underneath Expectation, Above Dreams: MaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang