BAB I

3 0 0
                                    


Suasana kantor siang itu sedang runyam. Bukan karena deadline menumpuk yang datang dan tidak pernah habis setiap harinya, tetapi karena banyaknya junk mails yang masuk keseluruh komputer melalui jaringan internet lokal kantor.

E-mail yang terus masuk kedalam inbox e-mail resmi perusahaan itu membuat gerah seluruh karyawan, tak terkecuali untuk Maddy yang bisa dibilang menjadi dalang terjadinya kerusuhan ini. Maddy juga tidak punya riwayat sebagai hacker sejak dia mengenal teknologi di bangku sekolah, kuliah, sampai bekerja di kantornya saat ini.

Bukan Maddy yang salah, tetapi begitulah opini orang–orang di kantor. Bagaimana tidak? Banyak sekali para pria dari berbagai golongan ekonomi dan sosial yang melamar Maddy dengan kata–kata yang berisi janji dan ungkapan yang unik seperti video gokil yang nyepam banget buat karyawan lain. Meskipun beberapa karyawan terkadang menganggap video–video absurd yang dikirim adalah hiburan di siang bolong.

Tidak sedikit dari pria–pria yang terobsesi ingin melamar Maddy tersebut tergolong kriteria tampan dan bahkan beberapa hampir dikatakan sempurna menurut karyawati – karyawati di kantor Maddy. Pendapat sahabat Maddy yang juga bekerja dikantor tersebut juga demikian.

"Sayang lhoo ndok kalo kamu gak nanggepin salah satu dari mereka," ujar Bude Mul, penjaga kantin yang sering mengantar makanan ke meja kerja Maddy terutama disaat deadline menumpuk dan turun ke lantai dasar dari lantai 3 saja memakan waktu menurut.

Maddy terdiam saja sambil mengunyah makanan dimulutnya.

Ya, gosip dan skandal tidak akan pernah berhenti di satu orang. Bahkan, di kantor beken yang bergerak di jasa keuangan seperti tempat Maddy bekerja ini juga.

Siang itu Maddy menyempatkan diri turun ke kantin. Dia sudah bosan makan siang di meja kerjanya. Apalagi sudah lama dia tidak mengobrol dengan Bude Mul, penjual makanan langganan Maddy.

Ya, kantin Bude Mul terbilang sederhana, tetapi disana dapat ditemukan berbagai menu makanan rumahan yang terbilang sangat enak. Meskipun hanya menyajikan hidangan rumahan, dagangan di kantin Bu Mul selalu habis pertama sebelum kantin lainnya.

"Itu dia Miss Perfect kita!" celetuk salah seorang karyawati yang lewat di dekat Maddy di kantin.

"Iya, gara–gara dia gak dilamar–lamar kita cuma kebagian banyak e-mail lamaran gajelas dari cowok. Jual mahal banget sih dia!" bisik karyawati lain di sebelah karyawati yang lewat itu. Sebenarnya mereka terlihat seperti bisik–bisik, cuma volume suara mereka seperti sengaja dibuat agak keras.

"Bukannya iri sih, gue juga udah punya cowok, tapi ganggu kerjaan kita banget kan," balas seorang yang lain.

Baik Bude Mul ataupun Maddy, mereka berdua mendengar percakapan yang disengaja karyawati–karyawati tadi.

"Sudah ndok jangan didengerin kata–kata mereka," nasihat Bude Mul sambil mengelap piring–piring yang baru saja dicuci asistennya.

"Iya Bude," jawab Maddy yang kelihatannya baru masih kesulitan bicara karena baru menelan makanannya.

"Memangnya kenapa toh ndok kamu gak nerima salah satu dari mereka? Kalo Bude jadi kamu, tak comot satu buat anak gadis Bude di kampung." Bude Mul kalau ngomong memang suka seperti itu. Maddy tahu Bude ini sebenarnya hanya bercanda. Karena Maddy tahu, anak perempuan Bude Mul sudah menikah semua.

Memang ada yang masih kecil, tapi masih SD. Tidak mungkin juga jika dijodohkan oleh Bude Mul dengan pria–pria umur dewasa yang melamar atau sekedar pdkt lewat e-mail.

Underneath Expectation, Above Dreams: MaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang