Akabane Karma - Kudobrak Pintu Sanubarinya

86 9 0
                                    

*:::*:::*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*:::*:::*

Kudobrak Pintu Sanubari Sang Bunga Hati

Ansatsu Kyoushitsu © Yuusei Matsui

Akabane Karma x Reader

Story written by Cuzhae

*:::*:::*

SMP Kunugigaoka adalah sebuah sekolah yang memiliki strata yang ketat. Sistem sekolah mengatur bahwa murid yang sudah tidak bisa diharapkan akan dibuang ke kelas E. Layaknya sebuah jeruk busuk di antara jeruk bagus lainnya.

Hanya karena nilai matematika jeblok, (Name) ditempatkan di kelas 3-E. Kelas yang berisikan anak-anak bermasalah, entah dari nilai atau pun segi sikapnya. Namun, gadis itu tidak begitu peduli. Bahkan kedua orang tua sang gadis enggan memberikan komentar apa pun.

“Yang penting aku bisa belajar. Mau kelasnya di bukit pun, aku tidak peduli,” tutur (Name). Matanya memperhatikan jalan setapak yang akan membawa ia untuk sampai ke kelas 3-E.

‘Sangat berbeda dengan gedung utama. Kenapa pula letak kelas ini jauh dari sana? Mana harus lewat hutan dulu.’ (Name) bermonolog dalam hati. Udara segar pagi hari masuk ke dalam paru-parunya begitu ia menghela napas perlahan. Yah, setidaknya ini bisa menjadi relaksasi pagi sebelum memulai pelajaran.

Namun, rupanya (Name) terlalu santai, terbukti tinggal dua kursi kosong tersisa yang belum ditempati. Kelas sudah ramai dengan siswa lain. Tanpa menyapa yang lain dulu (Name) langsung ke tempat duduk yang tersedia.

“Hai, namaku Shiota Nagisa,” sapa seseorang menghampiri meja (Name), “bukannya aku sok akrab, tapi sesama teman satu kelas baiknya saling kenal, 'kan?”

(Name) sedikit meragukan gender yang menyapanya ini. Rambut biru yang dikuncir kembar tampak manis dengan wajah mendekati feminin, tetapi anehnya anak ini memakai seragam siswa laki-laki.

“Hn … namaku (Surname) (Name), salam kenal,” jawab singkat (Name), “omong-omong kamu itu laki-laki atau perempuan?” celetuknya tanpa bersalah.

Orang itu tersenyum kaku, dirinya seperti sudah menebak pertanyaan yang dilontarkan kepadanya pasti mengenai kejelasan gender.

“A-aku laki-laki, (Surname),” ucap Nagisa. Wajahnya sedikit keruh, tapi masih berusaha mempertahankan lengkungan senyum.

(Name) tidak berkata lagi, ia hanya mengangguk pelan. Acuh tidak acuh dengan pertanyaan yang barusan ia utarakan pada Nagisa. Seolah itu hal wajar untuk dipertanyakan.

“Shiota—”

“Nagisa saja, (Surname),” interupsi pemilik marga Shiota itu.

(Name) menghela napas sejenak. “Haah … baiklah, tapi kau juga harus memanggilku (Name).” Nagisa mengangguk setuju. “Nah, Nagisa, kursi ini untuk siapa? Kenapa kursinya masih kosong?” tanya (Name) seraya menunjuk kursi di sebelahnya.

Menggapai AnganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang