Minyak Angin

15 2 0
                                    

Bus penuh sesak pada pagi menjelang siang. Sedikit menyesal aku rasa karena kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tiket bus malam. Aku merangsek masuk melewati tumpukan kardus dan aneka barang yang memenuhi sela-sela bus. Kudapati satu kursi kosong di tengah-tengah badan bus. Benar saja itu nomor 12. Aku segera duduk di kursi samping jendela itu. Tak lama seorang wanita tua ikut duduk di kursi sebelahku. Sampai waktu senja hampir tiba, aku perhatikan wanita di sampingku seperti sedang tidak baik-baik saja. Ia berusaha mencari minyak angin dari tas tangannya dan segera diusapkannya minyak angin ke pelipis dan tengkuknya.

"Nang, bantu pijiti nenek sedikit." Aku tak berani menolak. Aku pijiti tengkuk nenek sambil membatin, apa ia bepergian seorang diri? Tega sekali anak dan cucunya. Bahkan tak aku lihat sedikitpun makanan pengganjal perut yang ia bawa. Aku rasa pijitan ku bisa meredakan pusingnya sehingga mampu membuatnya tertidur. Aku rapihkan tas tangannya setelah kumasukkan kembali minyak angin sang nenek.

Seseorang memintaku untuk beranjak ke jalanan kecil antara barisan bangku bus. Bughh! Ringan sekali ia melayangkan pukulan keras ke wajahku. "Ga usah ngambil kesempatan," ucapnya keras dengan isyarat mata menunjuk kepada nenek tadi. "Maaf Bang, saya cuma bantu nenek Abang yang tadi pusing." Bughh! Lagi-lagi ia memukulku. Ia tak terima dengan ucapanku. "Sembarangan. Itu bini saya." Sekali lagi aku meminta maaf karena ketidaktahuanku.

Kumpulan PentigrafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang