Kamar Kos 04 (Part 3)

4.5K 171 8
                                    


Malam harinya, saya tersiksa.

Pertama, saya coli dua kali sambil mengendus celana dalam Wiga yang ditinggal di sana. Jadi, kontol saya terasa ngilu.

Kedua, Wiga hanya berjarak lima senti saja di sebelah saya. Terlelap ganteng dan bisa saya perkosa, tetapi saya tahu, saya tak bisa melakukannya.

Ya bisa, sih. Saya pernah merkosa penghuni kamar 10, kok.

Tapi masa iya saya mau merkosa Wiga?

Anehnya, saya justru enggak mau Wiga diperkosa. Oleh siapa pun. Termasuk oleh saya. Wiga itu seperti karya seni yang rapuh, yang tak boleh disentuh siapa pun. Dan saya adalah penjaga karya seni ini.

Yang jadi masalah adalah kontol saya ngaceng terus oleh fakta bahwa saya tidur di samping Wiga. Dan karena saya sudah coli dua kali, batangnya snut-snutan dengan rasa ngilu.

Makan malam tadi berlangsung lancar. Kami makan pempek bersama beberapa anggota keluarga Miko. Setelahnya, Miko mengajak karaokean. Saya ikut, tapi saya tidak menyanyi. Saya sibuk main hape. (Suara menyanyi Wiga bagus.) Sepulang dari karaoke, kami bertiga hang out dulu di sebuah bar untuk minum-minum. Wiga tidak minum. Saya sih minum, biar saya bisa melepas stres gara-gara Wiga.

Pun, saya pikir, dengan menenggak minuman beralkohol, saya bisa tidur lebih cepat.

Nyatanya, sesampainya di kamar, saya belum tidur juga sampai sekarang. Pukul berapa ini?

Pukul tiga dini hari.

Kepala saya pusing. Kerongkongan saya hangat. Perut saya agak mual sedikit. Tapi saya enggak tertidur juga.

Wiga mengenakan pakaian lengkap. Kaus putih lengan pendek dan celana seperempat paha. Dia tidur memunggungi saya awalnya. Kemudian, dia berbalik telentang, dan satu tangannya diletakkan di bawah kepala. Tepat di samping saya. Jadi, saya bisa merasakan aroma hangat tubuh Wiga menguar dari lipatan lengannya.

Dan aroma ini enak, babi!

ARGH!

Saya menoleh ke arah sana sepanjang malam. Mengamati dan mengagumi lelaki yang dicurigai memantra-mantrai saya. Melihat Wiga terlelap seperti ini, rasanya damai dan menenangkan. Dia tampak lugu. Tampak tak berdaya. Tampak memberikan segala keamanannya ke tangan saya.

Seolah-olah dia memercayai saya.

Padahal, saya terkenal hobi memanfaatkan para penghuni kosan untuk kepuasan seksual saya. Wiga pun tahu itu. Bisa saja saya mendekatkan hidung saya ke ketek itu, mengendusnya, menikmatinya. Namun Wiga tidak merasa insecure. Dia tetap tidur di samping saya di atas kasur ini. Seperti menyerahkan diri.

Sayangnya, saya enggak sanggup melakukan itu ke Wiga.

....

Wiga tiba-tiba membuka mata dan menoleh. "Belum tidur, Bang?" Wiga menggeliat.

Saya buru-buru menutup mata, pura-pura tidur. Barusan saya kepergok sedang menatapnya tanpa berkedip. Memalukan.

"Enggak usah pura-pura. Hehe." Wiga terkekeh sambil berbalik menghadap saya. "Susah tidur?"

Saya menyerah. Saya menghela napas dan membuka mata. "Iya. Gara-gara kamu."

"Saya udah nawarin, saya bisa tidur di lantai."

"Sama saja," balas saya.

"Saya bisa pindah ke kamar Miko sama Mas Andi. Supaya Abang bebas tidur sendiri di sini. Gimana?" Wiga bangkit setengah, siap membuka selimutnya. "Miko pasti paham kalau Abang enggak bisa tidur gara-gara saya."

Kosan KetekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang