1. Cinta Ini Membunuhku

584 76 23
                                    

Namaku Gendis, umur 29, aku bercerai dari kak Yo dan pergi meninggalkannya untuk bersama laki-laki lain ke tempat yang amat jauh, tanpa restu orang tua dan menentang semua orang yang menghalangiku. Aku gagal di negeri orang, dipecundangi dan dibohongi mentah-mentah oleh lelaki yang kupikir seorang pangeran dan aku tuan putrinya. Tak ada pangeran yang menganiaya meskipun atas nama cinta. Cintanya tak hanya menganiaya tapi juga berhasil membunuhku. Dongeng adalah omong kosong. Kisah omong kosong tentang dongeng membangunkan aku dari kemurnian angan kanak-kanak yang manis, berubah menjadi dewasa mendadak, dan pulang membawa hati yang retak.

Hati yang retak semakin remuk tak berbentuk lagi, tatkala yang menolong, membawamu kembali pulang adalah orang yang telah kau hancurkan hatinya tanpa perasaan. Kak Yo, mantan suamiku. Aku tak tahu maksud mas Eep, mungkin Mas Eep ingin memberi pelajaran; berbohong dengan mengatakan orang KBRI yang akan membantuku mengurus segala sesuatunya, lalu beberapa jam kemudian malah Kak Yo yang datang.

Orang KBRI memang benar ada yang datang, membantuku mendapatkan penginapan selama mereka mengurus segala sesuatunya. Bu Diah namanya, ia sempat memintaku ikut ke kantor KBRI dan menginap di sana, tetapi aku ingin sedekat mungkin dengan pesawat yang akan membawaku terbang dari sini, aku tak bisa melihat suasana kota, di luar bandara, aku benar-benar merasa takut tak bisa pulang, jadi aku ingin tetap di bandara sampai aku bisa berangkat, walau harus tidur sambil duduk, aku akan melakukannya. Bu Diah menyerah pada kehendakku, dan terpaksa mencari penginapan di dalam area bandara, dan hanya penginapan kabin ini yang tersedia, dan aku bersyukur, ini lebih dari cukup.

Jangan tanya bagaimana perasaanku melihat kak Yo, langsung tertidur di kabinku hanya dalam hitungan detik, aku terlalu gugup untuk sekedar mengerti, ia hanya perlu melakukannnya. Wajah kak Yo tampak lelah luar biasa, seperti belum tidur berhari-hari. Ia bahkan tak sempat melepas sepatunya. Tanganku sempat menjulur untuk melepasnya, tetapi sesuatu menahanku untuk tidak melakukannya. Pada akhirnya aku hanya duduk di pinggir ranjang dengan perasaan serba salah.

Segala sesuatu terasa salah sejak awal melihat kak Yo di sini, di Haneda, lalu berada satu kabin denganku dengan pintu setengah terbuka, kemudian merasa terlalu gugup memutuskan apakah harus membiarkan pintunya tetap terbuka, atau tertutup, dan terlebih lagi tak ada kursi di sini, hanya ranjang ini dan sebuah meja kecil dengan lampu bercahaya lembut. Cahaya lembut itu kelihatan bagus, tapi tetap saja semua ini terasa salah, tak ada yang benar saat ini, termasuk aku yang duduk canggung di pinggir ranjang ini.

Aku tak tahu lagi harus bagaimana, maka aku mengirim teks kepada mas Eep.

"Kak Yo, tidur, apakah pintu kabin dibiarkan terbuka, atau tertutup, Mas?"

Namun, cepat-cepat aku menghapusnya dan batal mengirimkannya. Terdengar mengada-ada dan berlebihan. Tetapi aku ingat memang harus menghubungi mas Eep, menanyakan rencana selanjutnya seperti pesan kak Yo. Tiba-tiba, untuk pertama kalinya aku merasa ada hal benar yang bisa kulakukan, ditengah situasi yang serba salah ini. Mas Eep tidak membalas. Kupikir ia pasti sibuk melakukan hal benar untuk kami. Jadi, aku harus bersabar menunggu balasannya.

Bagaimanapun, aku tidak bisa menunggu dengan posisi seperti ini; duduk, mengambil bagian sesedikit mungkin di bibir ranjang menghadap ke tembok, sementara di belakang punggungku kak Yo sedang tidur. Meskipun ia tidur dalam posisi tengkurap, aku tetap gugup untuk sekedar melirik punggungnya. Seolah punggungnya memiliki sepasang mata yang selalu mengawasi gerak-gerikku. Kemudian, punggungku mulai pegal, kaku dan tegang. Kupikir, sudah saatnya aku mengubah posisi duduk untuk mendapat sedikit perasaan nyaman.

Satu-satunya yang memungkinkan adalah duduk di lantai dengan punggung bersandar pada ranjang, sama-sama menatap tembok, tetapi setidaknya punggungku mendapat posisi lebih nyaman. Meskipun masih terasa aneh duduk menatap tembok dengan jarak sedekat ini dengan kaki menekuk karena terbatasnya tempat. Begitu dekatnya, aku bisa melihat jelas pori-pori dinding dengan cat yang tampak berminyak terkena cahaya lampu yang lembut dari lampu meja dengan desain abstrak yang terlihat sama anehnya dengan situasi saat ini.

GENDIS dan Puing Berserakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang