3. Mata Ken Melekat

407 71 23
                                    

Baca santai saja, ya ... resapi.
*

Aku tidak tahu rencana kak Yo selanjutnya, ia sibuk menelepon orang-orang, jeda sejenak, lalu menelepon lagi dan itu berlangsung  lama dan terjadi berulang-ulang. Aku lelah hanya dengan melihatnya menelepon sambil berjalan mondar-mandir di ruang serba guna ini. Sesekali ia berdiri menghadap dinding kaca, tangannya membuat gerakan-gerakan yang mengisyaratkan percakapan serius. Nada bicaranya kadang menukik tajam walau ia berbisik-bisik. Andai situasi di sini tidak menuntut ketenangan, kak Yo mungkin akan berbicara lantang. 

Kebosanan ini sudah tak terhankan, belum lagi pening di kepala yang tak juga reda, ubun-ubunku seperti dipukul-pukul martil dalam ketukan yang konstan, saat itulah kak Yo menghampiriku.

"Ken bersedia bertemu, besok. Ia berjanji saat ini juga berangkat dari Osaka."

Kepalaku dihantam martil yang lebih besar. "Untuk apa, toh kami tidak terdaftar secara resmi sebagai suami istri, faktanya aku tidak terikat perkawinan."

"Benarkah? Apakah kamu mau bilang kalau ijab qabul kalian, juga tidak sah?"

Aku benci kamu, kak Yo.

"Enggak, kan?"

Ia menarik sebuah kursi dan menyeretnya. Bunyi yang ditimbulkan membuat si Bule menatap tajam ke arah kami.

"Meskipun aku sangat ingin membawamu pulang ke Indonesia, tapi Ken adalah suamimu. Selesaikan yang seharusnya kamu selesaikan."

Aku tak sanggup lagi bertemu dengan Ken, tidakkah kak Yo mengerti.

"Kamu takut dipukuli lagi? Memangnya aku akan membiarkan kamu tidak dalam pengawasan? Aku sudah dapat konfirmasi orang KBRI, kami akan berada dalam jarak yang cukup jelas melihat kalian, tanpa mengganggu privasi kalian."

Aku tak punya celah untuk menghindar lagi, jika aku bersikeras rasanya tak ada gunanya, bisa-bisa aku tak jadi pulang. Biar kupikirkan bagaimana aku menghadapi Ken besok, saat ini aku lelah.

"Ya, kak Yo, aku mengerti."

Tidak seperti yang kubayangkan, malam ini aku tak bisa tidur. Seharusnya kabin ini nyaman sebagai tempat beristirahat,
setelah berhari-hari aku seperti gelandangan dan tidur dengan perasaan was-was; sebentar terjaga, sebentar tidur, tak pernah pulas dan bangun dengan kondisi fisik berantakan. Sekujur tubuh sakit dan lemah. 

Kak Yo seperti merasakan kegelisahanku karena tak bisa tidur (kami berbaring saling memunggungi. Canggung sekali), ia meminta maaf untuk itu karena tak sempat mempersiapkan dana yang cukup karena keberangkatan yang serba mendadak, hingga harus berbagi kabin denganku. Kak Yo kemudian berinisiatif tidur di lantai beralaskan selimut, seperti yang kulakukan sebelumnya, untuk memberi ruang lebih privat kepadaku.

"Minum ini untuk luka-lukamu, semoga lebam di wajahmu hilang besok pagi."

Caranya memang ampuh, tak sampai lima belas menit, aku sudah tak ingat apa-apa lagi.

*

Keesokan Harinya, di Terminal 1 Haneda Jam 1 siang

Aku tidak ingin mengatakan kepada kak Yo jika aku sudah melihat Ken. Saat ini Ken sedang mencari kami. Pandangan matanya menyapu ke arah kerumunan orang yang salah. Ia seharusnya memutar kepalanya 45° untuk menemukan kami. Aku menginginkan ia tidak menemukan kami dan segera pergi, biar kak Yo yakin jika dia memang penjahat. Seorang penjahat akan lari setelah menyakiti, pergi sejauh mungkin, atau setidaknya membiarkan orang yang disakitinya pergi sejauh mungkin. Itu yang kulakukan pada kak Yo, seharusnya ia melakukan hal yang sama; tidak terpengaruh andai semua orang memperingatkan, atau mengancam mu. Seorang penjahat haruslah penjahat yang kafah, sampai orang lain membalas kejahatannya, itu hukum alam—hanya sesekali saja hukum alam mengalami kecelakaan semesta dan membiarkan penjahat terbebas dari hukum pembalasan langsung atau tidak langsung. Aku tak peduli ia kelak menemukan pembalasannya atau tidak. Aku hanya ingin segera pergi sejauh-jauhnya dari sini. Pulang.

GENDIS dan Puing Berserakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang