Pelan-pelan bacanya, jangan keburu napsu, ya .. santai, nikmati.
***
**
*Bertahanlah, Nak. Kita harus saling menguatkan untuk sama-sama bertahan, berjuang, hidup dan bertahan hidup. Ibu ingin kamu hidup dan lahir ke dunia dan membesarkan mu. Bantu Ibu, izinkan ibu bekerja demi kamu, Nak.
Hampir setiap malam, atau saat aku merasakan kram di perut dan kakiku, aku selalu membisikkan dalam hati. Mengajak janinku bicara, sudah satu bulan ini. Aku sudah memaksa dan meyakinkan dokter, jika aku baik-baik saja dan berhasil keluar dari rumah sakit meskipun masih ada dua hari dari rencana dokter untuk mengistirahatkan aku.
Aku mengerahkan semua kekuatan doa, pikiran dan tubuhku untuk pulih. Aku percaya bahwa kekuatan pikiran sangat kuat dan mampu memerintahkan tubuhku untuk sehat. Jika pikiranku optimis dan yakin, dan Tuhan mengizinkan; maka seluruh sel dalam tubuh bahu-membahu memperbaiki kerusakan. Tubuh memiliki sistim sendiri untuk menyembuhkan dirinya. Obat hanya membantu bagian terkecil dari proses itu. Aku pernah membaca jurnal tentang ini dan saatnya memanfaatkannya sekarang, dan kupikir itu bekerja. Aku merasa makin kuat, sehat dan baik-baik saja tiap menitnya.
Kak Yo pasrah melihatku bersikeras pada keinginan untuk tetap bekerja dan menolak tinggal bersamanya di atas, maupun di rumah lama kami. Ia sempat menaikan nada suaranya;
"Jika kamu tak ingin tinggal bersamaku, setidaknya di sana ada mbak Tuti yang bisa menjagamu."
Aku memilih tetap tinggal di kos dan berjanji akan memberitahunya jika sedikit saja aku merasakan ketidakberesan — untuk menenangkannya.
Tenang? Kupikir akulah yang merasa tenang — merasa selalu terhubung dengannya seperti saat ini. Aku akan gelisah jika ia dalam beberapa jam belum mengirim pesan: bagaimana, Ndis, oke, kan? Atau, kamu perlu sesuatu? Atau, kamu ingin sesuatu? Sedangkan untuk mendahuluinya mengirim teks aku harus repot sekali mencari kalimat yang pas. Tidak mungkin aku menulis pesan; kamu di mana? Lagi ngapain? Sudah makan atau belum? Sejak dahulu kami tak pernah melakukannya. Kami tidak terbiasa, anehnya, mengapa akhir-akhir ini aku ingin melakukannya?
Mungkin jika aku tinggal bersamanya, belum tentu merasakan ayem. Dengan berjarak seperti ini, sesuatu menyerupai "kerinduan pelangi" selepas hujan, akan menemukan kenikmatannya. Setiap perhatian darinya adalah berharga dan setiap perhatian yang ingin kuberikan begitu mahalnya. Aku ingin menguji perasaan padanya; bukan karena aku membutuhkannya. Bukan karena aku membutuhkan sandaran disaat oleng. Bukan pelarian. Aku tak ingin mengulang kesalahan. Dan, itu hanya bisa dilakukan ketika menjaga jarak. Jadi, bila pelangi boleh kunikmati, itu karena aku memang patut dan telah bersyukur dengan cukup baik.
Lagi pula menanggung rindu itu pelipur lara dari kehidupan baru ini. Aku jadi berharap dan bermimpi tentang banyak hal; menjadi lebih baik, lebih bahagia, lebih punya semangat, lebih punya kesanggupan menanggung sengsara, rasa sakit, dan menjadi dewasa seperti seharusnya. Menjadi dewasa tidak akan berhenti, sampai mati pun kita akan terus belajar menjadi dewasa, begitu kak Yo pernah mengatakan padaku suatu waktu. Kata-kata yang terucap darinya banyak sekali yang berharga, dan anehnya, ia muncul saat aku membutuhkannya. Ia seperti bintang di malam buta. Padahal ketika kak Yo mengucapkannya, terdengar tidak istimewa sama sekali. Biasa saja.
Aku baru mengerti sekarang waktu kak Yo bilang; selesaikan dulu perasaanmu … . Maksudnya aku harus menata baik-baik, hatiku dulu. Berjarak, kupikir cara terbaik untuk saat ini.
Tetapi, semua yang sedang kutata susah payah, mendadak berantakan, ketika enam minggu sepulangnya dari rumah sakit, saat aku bersemangat bekerja dan penerimaan diri dan janinku sedang baik-baiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GENDIS dan Puing Berserakan
Ficción General(Serial Darah Muda ke 4) Namaku Gendis, umur 29, aku bercerai dari kak Yo dan pergi meninggalkannya untuk bersama laki-laki lain ke tempat yang amat jauh, tanpa restu orang tua dan menentang semua orang yang menghalangiku. Aku gagal di negeri orang...