Semua berantakan. Aku kehilangan pekerjaan di hari-hari yang menyiksa ketika mondok di rumah sakit. Lagi. Peraturan perusahaan tidak memperkenankan karyawan, tidak masuk kerja selama tiga hari berturut-turut. Dengan raut simpati orang HRD dari kantor itu menjenguk ku dan merasa menyesal harus memberitahu kebijakan perusahaan tentang peraturan ini.
"Kami terbuka anda bergabung kembali enam atau delapan bulan lagi. Pada saat itu rencananya kantor akan membuka departemen baru dan membutuhkan sekitar 8 - 12 karyawan baru."
Aku hanya bisa menerima dan berusaha tetap tersenyum meskipun lidah dan hatiku pahit. Tentang tawarannya itu, aku yakin hanya basa-basi saja agar mereka terbebas dari kesan kejam telah memecat karyawannya, justru disaat sedang menanggung sakit, di rumah sakit pula. Aku ingin menolak pemberian konpensasi; gaji penuh yang disodorkannya dengan amplop coklat, tetapi aku tak mampu. Aku membutuhkannya untuk biaya rumah sakit. Lagi pula aku bekerja sudah 23 hari, dan berhasil menangani 4 klien dengan nilai kontrak 175 juta. Aku merasa layak mendapatkannya.
Aku tidak sedang baik-baik saja. Rasanya baru kemarin betapa optimis mataku memandang hari-hari baru dengan warna baru yang menjanjikan keadaan lebih baik untuk hidupku kelak. Aku baru saja mengecap kehidupan menyenangkan menjadi perempuan mandiri. Bekerja untuk menghidupi diri sendiri. Hidup dengan kakiku sendiri. Lelah, tetapi menyenangkan. Betapa senang mengetahui kemampuanku bekerja sesuai harapan. Aku gesit, handal dan mampu melakukan kesepakatan dengan hasil memuaskan.
Tetapi sekarang, keadaan mengembalikan posisiku, kembali tak berdaya dan tergantung pada orang lain; pada Dokter, kak Yo dan sekarang Ken. Kak Yo menarik diri dariku karena kemarahannya. Tersisa dokter dan Ken yang bersikeras menjagaku selama di rumah sakit sampai aku pulih. Ia tak memberiku ruang melakukan segala sesuatu sendiri, walau hanya untuk mengambil gelas minum di meja. Ia menyuapi makan, membantuku bangun, meletakkan bantal untuk menyangga punggungku, atau memapahku ke kamar mandi. Aku melihat diriku tak berguna dan rapuh seperti kaca yang mudah pecah. Tak terlihat ada harapan bagus di tempat ini selain bangun dan tidur melihat Ken, melihat dokter dengan larangan-larangannya dan kebosanan tiap menitnya.
Belum lagi keresahan yang terus-menerus mengganggu pikiran tentang hubunganku dengan kak Yo yang memburuk. Kemarahannya telah mengupas penyesalanku selapis demi selapis. Kemana perginya kelembutan dan kesabaranku selama ini. Aku seperti tidak mengenali diriku lagi. Aku dulu berpikir sederhana, tidak berbelit-belit apalagi berprasangka yang bukan-bukan. Ajaran dan nasihat Yangti seperti menguap entah kemana. Aku sedih kebohongan Ken tidak saja mengubah nasibku, kepribadianku, juga tindak tandukku. Aku menjadi mudah marah, berkata kasar dan tidak percaya pada orang lain. Semua orang seperti para pendusta yang ingin menyakitiku. Mengerikan.
Aku bahkan mencurigai ketelatenan dan kesabaran Ken menjagaku punya maksud lain. Aku tidak lagi bisa melihat kebaikannya adalah murni dan tulus. Dalam benakku, Ken hanya melakukannya agar aku mau kembali padanya. Jika sudah begitu, perutku rasanya mual setiap melihat wajahnya dan ingin mengusirnya saja. Tapi aku sedang lemah saat ini, aku butuh pertolongan orang lain hanya untuk kencing sekalipun, dan hanya Ken yang ada di dekatku saat ini, aku tidak bisa memilih siapa-siapa selain dia.
Gila, disadari atau disangkal, bukankah aku sedang memanfaatkan Ken untuk kepentinganku sendiri karena aku tak memiliki siapa siapa sekarang. Tidak ada teman, keluarga, mbak Wu, tidak juga kak Yo. Aku hanya alien yang terdampar di bumi.
"Kenapa menangis, ada yang sakit, ya, mau aku panggil dokter?" tanya Ken mengusik lamunanku.
"Ndak perlu, bukan itu."
Aku bahkan mudah menangis oleh sebuah lamunan dan perasaan tak berdaya ini. Dahulu, aku tidak pernah mengeluh walau kerja sejak subuh hingga sebelum berangkat sekolah; mencuci, memasak, menyapu halaman dan menyiapkan wedang dan sarapan, atau melayani Yangti setelah sepulang sekolah sampai menjelang tidur. Aku tak akan tidur sebelum Yangti sare. Aku tak merasakan lelah yang membuatku sampai menangis seperti saat ini. Fisikku terbaring, tetapi aku merasakan lelah luar biasa dan hampir tak bisa menanggungnya, dan satu-satunya yang bisa kulakukan hanya menangis. Lemah betul. Aku tak sekuat dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GENDIS dan Puing Berserakan
General Fiction(Serial Darah Muda ke 4) Namaku Gendis, umur 29, aku bercerai dari kak Yo dan pergi meninggalkannya untuk bersama laki-laki lain ke tempat yang amat jauh, tanpa restu orang tua dan menentang semua orang yang menghalangiku. Aku gagal di negeri orang...