18. Hampa

248 59 7
                                    

Aku melirik kursi roda yang terlipat di balik pintu. Membayangkan merangkak ke sana dan berkeringat menaikinya, lalu menyusuri lorong menuju taman, merasakan keringat membeku dan tubuh yang menggigil oleh angin dini hari. Bibir ku pasti akan bergetar, warnanya kebiruan dan wajah ku kebas. Mungkin tangan yang mengayuh satu-satunya bagian tubuh yang tidak akan merasakan dingin. Sebab ia bergerak, sesuatu yang bergerak hanya berurusan dengan waktu dan tempat yang akan di tuju, seharusnya tidak sempat merasa dingin.

Dua orang laki-laki itu sedang melakukan pembicaraan penting. Mereka mungkin sedang berdiskusi menentukkan nasib aku, perempuan tidak berguna ini. Atau, mereka malah sedang baku pukul saling menyalahkan satu sama lain, sebelum Ken melakukan serah terima tanggung jawab. Kak Yo lah, yang akan memulai melayangkan tinjunya. Ia marah setelah mendengar pengakuan Ken, tak berdaya memperbaiki keadaan, dan terpaksa ia harus menitipkan keselamatan dan kebahagiaan ku kepada kak Yo. Ia meyakini kak Yo paling berhak memiliki aku lagi. Lalu, kak Yo berang dan meninju Ken karena telah mengacaukan hidup kami dan kini, ia datang meminta kak Yo membereskan kekacauan yang sudah dilakukannya.

Sudah pasti itu, aku menebak; Ken yang merasa putus asa terpaksa menerima satu atau dua pukulan dan memilih diam tanpa perlawanan dengan darah mengucur dari hidungnya. Ia akan berpikir: ia pantas menerimanya, atau, ia merasa harus menerima hukuman atas perbuatannya agar ia bisa kembali ke Jepang dengan perasaan yang lebih baik. Ia harus meringankan dosanya atau ia tidak bisa bertahan dan melanjutkan hidupnya yang kelak membosankan, hancur lebur dan pahit. Lalu, ia akan punya alasan untuk kembali bangkit dan menerima kekalahannya dengan berani, bertemu dengan gadis baru dan memulainya tanpa beban dosa yang berlebihan. Ia akan mengulang kata-katanya sendiri di kepalanya, begini: aku sudah berusaha keras memperbaiki dan membawa Hendis san kembali, tapi ia tidak mau. Aku berhak melanjutkan hidup karena aku sudah menerima balasan dari dosa-dosaku. Aku bercerai dari dua perempuan sekaligus, hidupku sudah cukup memakan waktu bergelut dengan kehancuran dan rasa frustasi yang dalam. Aku sudah melakukan segalanya, aku berhak hidup sekali lagi.

Sementara itu, kak Yo … sebentar, aku kesulitan mereka-reka pikiran dan langkahnya. Ia sosok yang tidak memiliki kelaziman atau pola yang mudah ditebak seperti kebanyakan orang-orang. Jika orang lain dengan posisi sepertinya, tentu akan berbaik hati menerima dan merawatku dengan segenap ketulusannya. Ia orang yang punya ketulusan paling murni sama halnya seperti kak Eep. Mbak Wu pernah bilang, era mereka dibeberapa hal lebih baik yang sulit dibantah. 

Menurut mbak Wu, di jaman mereka, banyak juga lahir orang-orang jahat — terutama yang mengecap kekuasaan di jaman ini, meski pun tumbuh dari lingkungan penuh idealisme, dan hidup di salah satu masa keemasan berkembangnya manusia-manusia cerdas. Tapi mereka, mas Eep dan kak Yo, adalah sedikit dari orang-orang yang masih percaya hal-hal duniawi bukan satu-satunya. Sedikit dari yang tersisa; orang-orang yang memiliki  ketulusan dan cinta yang murni.

Namun, kak Yo daya logisnya mematikan. Sangat mungkin juga mematikan cinta tulusnya menjadi hanya sekedar tulus sebagai sesama manusia. Ia bisa menolongku karena melihat kondisi hidupku yang berantakan, dan sedang hamil, tapi belum tentu ia bisa menolong ketika cintanya untuk ku, lenyap. Aku seharusnya malu membayangkan masih ada cinta kak Yo untuk ku. Aku sendiri membingungkan, sebenarnya sedang berharap apa padanya, jangan-jangan aku hanya tak siap sendirian menghadapi kekacauan ini.

Sepantas apa seorang seperti aku menjadi hal genting bagi Ken dan kak Yo dibicarakan saat ini di taman. Mereka sedang saling menuding, menyalahkan dan menghardik, padahal aku lah sebenarnya sumber kekacauan ini. Aku berkhianat dari kak Yo, lalu Ken berkhianat dari ku, dan kak Yo yang harus menanggung getahnya. Aku sangat percaya kak Yo sanggup membereskan kekacauan ini sehebat ia menjadi pemimpin pergerakan, atau sedahsyat ia mengatasi banyak masalah-masalah besar, orang-orang lemah yang menghadapi ketimpangan hukum, tekanan orang besar atau apa pun menyangkut ketidakadilan.  Tapi pantas kah aku menerimanya? Satu-satunya alasan yang masuk akal hanya cintanya yang besar membuatku merasa pantas diselamatkan.

Tapi, aku tidak pernah bisa menakar cintanya. Aku dulu sering kali cemburu  dan membandingkan diam-diam, lebih besar mana cintanya kepadaku dibanding perempuan-perempuan masa lalunya. Waktu itu aku merasa berhak tahu karena menganggap cinta ku setinggi gunung dan seluas samudra, dan aku amat memujanya. Kak Yo pernah mentertawakan ketika aku menyinggung ini, ia bilang: untuk apa mempertanyakan hal abstrak dan yang jawabannya bisa direka-reka. Cinta itu bukan zat yang jelas bentuknya. Ia bisa menyerupai apa saja dan siapa saja. Aku bersama mu saat ini, lebih jelas wujudnya, kan? 

Tentu saja, sebagai perempuan yang secara kodrati memiliki formula logika berbeda dengan laki-laki, tidak puas dan rasanya ingin mengejar jawabannya sampai jauh. Perempuan selalu ingin menjadi nomor satu di hati laki-laki yang dicintainya. Padahal menjadi juara tidak ada manfaat apa-apa, selain perasaan lega dan berkuasa. Begitu katanya. 

Dan ia benar, buktinya, cinta besar setinggi gunung dan seluas samudra yang kumiliki untuknya, begitu kubanggakan dan merasa harus mendapat balasan sebesar atau lebih besar lagi cinta darinya, nyatanya ambrol dengan penghianatan yang kulakukan. Ia yang kusangsikan, tak pernah sekali pun memperlakukan aku dengan buruk. Ia melakukannya dengan mata, hati, telinga dan perbuatan penuh cinta, walaupun mulutnya tidak mengobral kata-kata cinta. Kak Yo tahu bagaimana cara memperlakukan zat abstrak bisa dimengerti dan terlihat nyata, yaitu dengan perbuatan. Percuma setiap detik  mengatakan cinta, tersandung sedikit saja sudah terpeleset dan lantang di depan matanya, mengatakan, aku tidak mencintai kamu lagi, kak Yo.

Apakah sekarang yang kurasakan melihat dua laki-laki yang mencintaiku sedang menentukkan bentuk nyata, zat abstrak mereka masing-masing. Aku merasa apa sekarang? Aku perempuan dewasa yang seharusnya menanggung salibnya sendiri. Nasibku tidak lazim ditentukan zat abstrak dua lelaki itu. Jika aku ingin memiliki kemuliaanku sendiri, bukan karena belas cinta dua lelaki itu, mungkin sudah saatnya aku harus berani menanggungnya sendirian. Membereskan sendiri hidup ku yang berantakan. Aku yang menempuh jalan dan tersesat, aku sendiri yang harus menemukkan petanya.

Suara lemah langkah kaki yang mendekat, membantuku menghentikkan bayangan rasa kesendirian yang sedang kupersiapkan ini. Aku memejamkan mata dan pura-pura tidur sepulas sebelumnya. Dan ketika Ken masuk ke ruangan ini, sehelai bulu angsa seperti keluar dari hati ku, melayang dan meliuk di depan wajah ku. Aku meniupnya dan ia terbang mendekat ke langit-langit. Ia tampak begitu ringan dan terombang-ambing. Ada yang ingin ikut terbang bersamanya, sesuatu yang keluar dari dadaku, tak berwujud, tapi aku bisa merasakan hampanya, tak berongga dan terbang semudah angin keluar dari dadaku serupa liukan asap berwarba putih. Ia juga seringan bulu angsa, dan mengikuti kemana pun bulu angsa itu bergerak. Kemudian melewati celah ventilasi dan baru lah, mereka lenyap.

Aku rasa aku menangis. Dengan hati-hati aku meraba mataku dan ternyata tidak basah seperti dugaanku, tapi rasanya aku menangis dan sedih. Seperti kehilangan sesuatu yang lama berdiam di hati dan sekarang ia pergi bersama bulu angsa. 

Untuk menyingkirkan bayangan mereka setelah berada di luar, aku sengaja membuka mata dan melihat Ken sedang berkemas.

"Kamu mau pergi sekarang, Ken?"

"Kenapa kamu bangun, aku tidak bersuara apa-apa?" jawabnya dengan tangan masih menggenggam syal yang baru ia tarik dari ranselnya, setelah sebelumnya memasukkan buku dan handuk.

"Aku hanya ingin kencing."

"O, ya, tentu saja."

Ia bergegas mendekat dan memapahku. Semuanya tampak biasa, seperti yang selama ini yang ia lakukan. Sampai ketika aku selesai dan melihatnya berkaca-kaca.

"Jangan khawatir aku akan baik-baik saja," kataku.

"Ya, Hendis san."

Ia memeluk dan menggendongku dari kamar mandi. Ini tidak seperti biasanya, tapi aku tak keberatan dipeluk. Aku juga ingin dipeluk, terutama setelah bulu angksa dan sesuatu itu pergi. Ken menaruh ku di tempat tidur dengan hati-hati, dan ia tidak melepas pelukannya, meskipun aku sudah berbaring dengan sempurna dan melepas tangan ku dari lehernya. Ia terus memeluk. 

Aku rasa kali ini aku menangis betulan. Aku merasakan hangatnya mengalir dari sudut mata sampai ke bawah pelipis dan dekat telinga ku.

Aku membalas pelukan Ken, membelai punggungnya seolah dengan begitu aku merasa tidak terlalu tenang. Suasana malam ini terlalu tenang dan itu sama sekali tidak nyaman untukku. 

"Maafkan aku, Ken."

"Tidak, maafkan  aku, Hendis san."

Pelukannya makin erat. Di benak ku, si bulu angsa dan dia, terlihat melayang-layang di langit, dibalik ranting-ranting dan bulan yang tak utuh bulatnya

***

GENDIS dan Puing Berserakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang