15. Semrawut (3)

273 71 18
                                    

Kak Yo menghilang dari pandangan diiringi suara langkah kakinya yang menjauh. Tak lama, terdengar suara pagar dibuka dan ditutup. Ia pergi.

"Kamu tahu aku tinggal di sini dari dia?"

Ken termangu, lalu menggeleng ragu. Sesuatu meletup di kepalaku, perasaan terbakar memenuhi dada.

"Apakah, kamu tahu tentang …?"

Aku tak berani meneruskan dan hanya menunggu reaksinya. Tetapi ia kembali termangu dengan tatapan kosong ke arahku. Tatapan macam apa itu? Tidak ada sinyal apapun yang bisa kubaca dari ekspresinya. Melihatnya seperti itu hatiku terbakar, kepalaku mendidih. 

"Bisa tahan dulu pembicaraan kita, Ken? Aku ingin bicara sebentar dengan kak Yo."

"Ada apa? Jangan!"

Aku tidak menggubris. Kegugupan yang sempat membersit dari mimiknya membuatku semakin ingin cepat-cepat menyusul kak Yo. Siapa tahu aku masih beruntung menyusulnya. Posisi kos ini berada di gang yang tak bisa dilewati mobil. Sejak tadi aku tak mendengar suara motor, itu artinya; kak Yo mengendarai mobil dan jelas ia memarkir mobilnya di pinggir jalan, di ujung gang ini.
 
Setengah berlari aku keluar kamar dan pergi menyusulnya. Tidak sempat lagi mengenakan sandal. Yang ada dipikiranku hanya ingin mencegahnya pergi. Aku harus bicara dengannya. Aku kemudian mempercepat langkah, bahkan setengah berlari, dan benar-benar berlari ketika melihat punggungnya di pos ronda. 

"Tunggu!" teriakku sekerasnya.

Ia berhenti dan menoleh, lalu terdiam sejenak sebelum tubuhnya berputar, dan berjalan menjemputku. 

"Jangan lari, Ndis." Ia menggerakkan tangan ke arahku memberi isyarat larangannya itu.

Gang ini sepi, tidak ada seorang pun, atau motor yang melintas. Rumah-rumah di sini rata-rata memiliki pagar tinggi, ini membuat suasana terasa semakin senyap. Hanya lampu-lampu yang memancar dari dalam, serta beberapa pohon besar di halaman mereka yang membuat ada kehidupan di sana.

"Aku mau bicara!" Aku berhenti, lalu membungkuk memegangi lutut dengan napas terengah-engah. 

"Aku minta maaf. Aku tidak tahu ada Ken."

"Kamu yang memberi tahu, Ken, kan?" 

Ia malah mematung.

"Aku ndak suka. Menurutku lancang, ya. Seharusnya izin dulu, lah."

"Loh, sebentar,"

"Kita bukan suami istri lagi, kan? Lagipula andai suami istri, seharusnya meminta persetujuanku dulu, jangan mentang-mentang jadi laki-laki, merasa lebih berkuasa dan berhak ngacak-ngacak hidup yang sedang susah payah dibangun."

"Kok, jadi mainin gender. Sejak kapan aku menempatkan kamu tidak setara?"

"Ah, kalian laki-laki sama saja, enak sekali obrak-abrik hati perempuan."

"Siapa yang obrak-abrik hatimu, Ndis? Siapa yang pergi dan siapa yang datang, aku tanya sekarang!"

Wajah kak Yo menegang, dahinya berkerut naik, dan tatapannya … seperti kobaran api. 

"Sebenarnya kamu itu sedang bicara dan marah padaku, atau Ken!" 

Dalam diam aku membeku. Ia seperti memberi pukulan hook, rasanya memang telak. Tapi kobaran api di matanya terlanjur membuatku terbakar.

"Kalian sekongkol. Apa lagi namanya. Mungkin  ndak ada lagi belas kasihan, di matamu aku adalah pendosa besar, setiap dosa harus dihukum. Kupikir aku bisa mengandalkanmu, ternyata ndak."

"Kamu sudah di luar kontrol, Ndis." Ia mendekat, sedekat aku bisa mendengar dengus napasnya. Aku mundur selangkah. 

"Lihat mataku baik-baik. Pakai hatimu kali ini." Ia maju selangkah.

GENDIS dan Puing Berserakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang