"Menghapus foto-foto tidak serta merta menghapus ingatan pada momen-momen di dalamnya. Ingatan kadang bekerja lebih jernih dari hasil jepretan foto," kata kak Yo.
Kak Yo mengomentari setelah tiga jam aku selesai membersihkan galeri di hape. Jeda yang terlalu panjang untuk mengomentari sesuatu. Ia bahkan melakukannya setelah terbangun dari tidur, menikmati sepotong keik coklat pemberian gratis Lyliana dan bersenandung (lebih terdengar gumaman) potongan lagu asing tanpa lirik. Oh, satu lagi, juga setelah ia ke toilet — kembali dengan wajah jauh lebih segar dengan rambut yang basah di bagian depan.
Aku sempat melirik keik coklatnya dan tergiur menghabiskannya. Sebenarnya Lyliana tadi menawari ku juga, namun penekanan kata free membuatku menolak tawarannya. Selain, tentu saja sesungguhnya ia hanya ingin memberinya pada kak Yo saja. Aku tak suka senyum girangnya ketika kak Yo tidak menolak pemberian free nya itu. Seolah memberi free adalah prestasi yang patut dibanggakan. Senyum dan wajah girangnya amat jelas menggambarkan "prestasinya" itu.
"Biar saja, Nd …," aku nyaris menyebut Ndis, aku mengurungkannya dan bertekad tidak menyebut diriku sendiri dengan sebutan Ndis untuknya. Terkesan terlalu kekanak-kanakkan.
"Aku hanya ingin melakukannya," kataku.
Kak Yo hanya mengangkat bahunya sedikit.
"Aku ingin cuci muka juga, biar segar."
"Jangan gunakan sabun yang ada di wastafel, Ndis."
Ia memanggil, Ndis, nama kekanak-kanakanku. Wajahku rasanya menghangat. "Kenapa?"
"Kebiasaanmu pakai sembarangan sabun untuk cuci muka, jangan dipakai di sini."
Tiba-tiba dadaku rasanya mengembang seperti balon gas.
"Ada kandungan anti bakterinya, wajahmu bisa mengelupas."
Ia bahkan masih ingat kulit wajahku sensitif pada sabun anti bakteri. "Ya, terima kasih," kataku sewajarnya, berharap ia tak melihatku merasa senang dengan perhatiannya. Memalukkan, begitu haus perhatian dari Ken, selama ini, sampai aku girang betul diperhatikan lelaki lain. Lelaki lain? Bukankah kak Yo lelaki pertamaku, dalam beberapa hal ia lebih memahamiku dibanding Ken. Ya, Tuhan, mengapa aku membandingkan mereka. Ini menggelikan …
Dan mengerikan, aku tetap senyum-senyum tak jelas di dalam toilet yang sempit ini sambil memerhatikan sabun yang dimaksud kak Yo, bertengger dengan botol dan cairan berwarna bening di samping kran air. Ada yang menggelitik aku untuk menggunakan sabun itu dan membiarkan kulit wajahku melepuh. Penasaran, kira-kira reaksi apa yang akan dilakukan kak Yo. Ya, ampun, apa yang baru saja terlintas dipikiranku, benar-benar konyol.
Untunglah pikiranku teralihkan karena mataku melihat sobekan kertas di dalam keranjang sampah di antara timbunan tisu. Sobekan yang mengundang perhatian karena berisi coretan tangan. Agak nyeleneh untuk habitat keranjang sampah toilet. Rasa penasaran menggerakkan ku untuk berjongkok dan melihat sobekan kertas itu dari dekat. Kepalaku harus miring untuk membaca coretannya.
Jika berkenan, saya akan senang jika sewaktu-waktu pak Suryo menghubungi saya, untuk menyambung silatuhrami. Saya ingin meminta nomor Bapak secara langsung, tapi saya malu. Ini nomor saya, 0811xxx56
Itu pasti dari Lyliana. Tak akan salah. Tak ada yang berbincang-bincang dengan kak Yo selain dia. Tak mungkin juga pak Suryo yang dimaksudkan tertulis di sana adalah orang lain, kertas itu berada di posisi paling atas tumpukan tisu bekas. Kak Yo baru saja dari toilet, setelah itu aku. Aku juga ingat, ketika kak Yo pergi ke toilet, Lyliana tidak ada di kursinya, bukan mustahil ia sedang di dekat toilet, lalu memberi sobekan kertas itu sebelum kak Yo masuk toilet. Niat betul menyiapkan kertas itu untuk diberikan pada waktu yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
GENDIS dan Puing Berserakan
Fiksi Umum(Serial Darah Muda ke 4) Namaku Gendis, umur 29, aku bercerai dari kak Yo dan pergi meninggalkannya untuk bersama laki-laki lain ke tempat yang amat jauh, tanpa restu orang tua dan menentang semua orang yang menghalangiku. Aku gagal di negeri orang...