4. Matinya Tokyo

358 71 36
                                    

Baca pelan pelan ...
*

Irama langkah kakiku, sama persis dengan irama degup jantungku ketika aku berjalan melewati pemeriksaan logam. Mereka memberi ketukan dan nada degup yang teratur disertai efek gema. Aku seperti berjalan di lorong sebuah gedung tua kosong dengan sepatu hak tinggi. Terdengar mencekam, makanya aku ingin cepat-cepat menjauh dari lorong ini dan masuk pesawat. Setiap langkah seperti aba-aba tanggalnya kelopak bunga fuji kering yang ditiup angin kering musim semi di Ashikaga park di kawasan Prefektur Tochigi. 

Tidak seperti pelancong yang suka mengagumi taman bunga di sana, aku merasa suasana horor ketika berkunjung ke sana. Bunga fuji tumbuh seperti buah anggur yang menggelantung di dahan-dahan. Mereka tampak terlalu berkuasa dan keterlaluan rimbunnya, seolah ingin menelan siapa saja yang sedang dibawah rindangnya. Sekarang, aku membaca suasana ngeri yang kurasa pada saat itu, sebagai firasat yang terlambat kusadari.

 Sekarang, aku membaca suasana ngeri yang kurasa pada saat itu, sebagai firasat yang terlambat kusadari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Degup jantungku semakin cepat seiring langkahku yang juga cepat-cepat. Sesaat, aku merasakan perasaan ngeri itu datang dan menakut-nakuti, tepat di belakang puggungku. 

Sebuah tepukan di bahu membuatku memekik.

"Pelan sedikit, kenapa harus buru-buru."

"Aku mau pulang," pekikku.

"Pesawat itu tetap di sana, menunggu kita," kata kak Yo.

"Aku tak mau dia menunggu."

Aku bahkan tak ingin menengok ke belakang, aku hanya samar-samar mendengar  bunyi langkah kak Yo yang berusaha mensejajarkan langkah denganku. Ia sempat meraih tanganku, namun aku melepaskan diri. Di dalam benakku, tangannya seperti gumpalan bunga fuji yang berusaha menahanku untuk tetap tinggal. Aku tak mau, bagiku Tokyo sudah mati.

Gumpalan bunga fuji seperti pelukan terakhir Ken kemarin. Pelukan penuh getah lem yang menyulitkan aku melepaskan diri. Air mata tidak membantu, malah membuatku semakin lemah. Bisikan Ken kemudian, memperparah dan membuatku tak berdaya.

"Anata, kamu tidak mungkin melakukan ini, kamu harus memberi kesempatan setidaknya satu kali untuk membuktikan kesungguhanku. Satu kali saja, tolong anata."

Saat itu pertama kalinya, suasana menakutkan di bawah gerombolan bunga fuji seperti mengurungku. Menelanku, aku tak bisa melepaskan diri. Rasa takutlah yang justru membebaskan aku dari kungkungan bunga fuji, maksudku dari pelukan Ken — bukan keberanian yang aku kumpulkan dari sisa-sisa kekuatan. Aku tak memiliki keberanian, juga tidak punya kekuatan walau secuil. Aku sudah tak berdaya, satu-satunya kekuatanku adalah rasa takut yang curam. Rasa takutku yang membuat bibirku bergetar dan tubuh menggigil, lalu memintanya menceraikan aku saat itu juga. Di depan bu Diah dan seorang lelaki tua dengan kopor kecil yang berhasil bu Diah bujuk untuk menjadi saksi. Kak Yo tidak bersedia menjadi saksi, ia bersikeras hanya ingin menatap pemandangan kota Tokyo yang bagiku sudah seperti area perkuburan. Tokyo sudah mati. 

GENDIS dan Puing Berserakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang