10. Pengakuan Keenan

375 105 31
                                    

Sudah seminggu lamanya sejak hari ulang tahunnya Zea merasakan dirinya yang berbeda. Entahlah, semenjak ia mendengarkan Azim saat berdoa dirinya sering kali tiba-tiba merasa tersentuh tiap kali mendengar bacaan qur'an atau pun adzan yang sedang berkumandang.

Saat ini Zea baru saja selesai menunaikan sholat zuhurnya. Entah mendapatkan hidayah dari mana, saat mendengar adzan Zea melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Jarang sekali ia tepat waktu dalam menunaikan sholat, bahkan ia selalu dimarahi oleh Bundanya karena sering sekali menunda sholat.

Walaupun tergolong keluarga yang tidak terlalu agamis, namun kedua orang tua Zea selalu tegas dalam urusan ibadah. Bagaimana pun juga semua yang kita miliki adalah milik Allah, maka dari itu jangan lupa untuk selalu bersyukur kepada-Nya.

Zea keluar dari ruangan musholla kecil yang ada dirumahnya. Kedua orang tua Zea yang sedang asyik bersantai diruang tamu melihat anaknya itu yang baru saja selesai melaksanakan sholat. Bundanya menatap kaget melihat Zea yang sudah mulai ada perubahan. Begitupun ayahnya yang senang melihat anaknya seperti itu.

"Nah, gitu dong. Sholatnya nggak tunggu disuruh dulu," ucap Risa.

"Alhamdulillah, nggak salah ayah sama bunda masukin kamu ke kampus islam, Zea" sahut Reno.

Zea yang sedang dipuji pun merasa canggung sekaligus malu, seperti anaknya tidak pernah sholat saja. Zea duduk disofa yang berhadapan dengan orang tuanya.

"Kayak Zea nggak pernah sholat aja," ketusnya sambil memainkan ponselnya.

"Bukan gitu, Zea. Jarang banget bunda liat kamu begini. Malah dalam seminggu ini Bunda sama Bi Sari jarang banget bangunin kamu untuk sholat," ujar Risa.

Zea hanya diam dan fokus kepada ponselnya.

"Oh ya, Zea" panggil Reno, Zea kemudian menatap Ayahnya, "Ngomong-ngomong, siapa nama anak yang baca doa waktu birthday party kamu? Ayah lupa namanya," tanya Reno.

"Oh, namanya Azim, Yah. Kenapa?"

"Ayah suka lihat anak itu," jawab Reno.

Zea membulatkan matanya, "Ya ampun, Ayah masih normal 'kan?" kaget Zea. "Bun, denger nggak? Ayah suka sama cowok," Zea menatap bundanya yang tengah fokus menonton televisi.

Risa hanya menggelengkan kepalanya melihat kegaduhan antara anak dan ayah itu. Walaupun mereka jarang berkumpul bersama, tetapi kedua orang tua Zea selalu berusaha untuk selalu menjaga keharmonisan dalam keluarganya. Seperti saat ini, jika sudah berkumpul maka pasti ada saja keributan antara anak dan orang tuanya.

"Astaghfirullah, bukan itu maksud Ayah, Zea" tegas Reno, ada-ada saja kelakuan anaknya itu. Kalau bicara tidak pernah difilter dulu.

Zea terkekeh karena berhasil menggoda Ayahnya.

"Kamu kenal Azim itu dari mana? Tumben banget punya teman yang tidak sesat," ujar Reno jujur.

Memang baru kali ini Reno melihat teman Zea yang seperti Azim. Biasanya saat zaman sekolah dulu, Zea selalu bergaul dengan anak-anak nakal yang sering sekali bolos sekolah. Dan juga, Zea pernah ketahuan mabuk saat berkumpul di club malam bersama teman-temannya. Tentunya hal itu membuat kedua orang tua Zea khawatir dengan pergaulan anaknya.

"Ya Allah, Ayah! Kalo ngomong suka bener, hehe..," kekeh Zea.

"Azim itu mantan presiden mahasiswa dikampus Zea, Yah. Makanya Zea bisa kenal," tambahnya.

"Oh, jadi kalian satu kampus. Anaknya kelihatannya baik banget,"

Risa mendekatkan duduknya kepada anaknya itu," Kapan-kapan ajak Azim ke rumah lagi ya," suruh Risa.

Garis TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang