Hari ini tepat dimana masa periode Azim sebagai seorang presiden mahasiswa telah berakhir. Semua mahasiswa berkumpul dalam acara penyerahan jabatan kepada calon presiden mahasiswa yang baru. Tampak, Azim yang memberikan amanahnya kepada kandidat calon presma itu.
Setelah selesainya acara itu, Azim tiba-tiba saja menerima telfon dari Adiba--temannya. Katanya wanita itu membutuhkan bantuan Azim dalam mengerjakan tugas akhirnya. Selama ini, Adiba memeng selalu meminta bantuan kepada Azim karena mereka juga sejurusan dan juga seangkatan. Adiba juga sering mengajak Azim untuk mengerjakan tugas akhir bersama-sama, agar lebih mudah katanya.
Begitu acara selesai, Azim memutuskan untuk kembali ke kelasnya. Tanpa diduga, Adiba ternyata sudah menunggunya disana. Padahal ia bilang kalau dirinya menunggu dikantin fakultas.
"Assalamu'alaikum" ucap Azim, tampak Adiba yang sedang sibuk dengan laptopnya.
Adiba yang melihat Azim sudah datang pun tersenyum simpul dibalik cadarnya, ia tahu jika Azim akan menuju kelas terlebih dulu untuk mengambil barangnya yang ada dikelas.
"Wa'alaikumussalam"
"Adiba, kenapa kamu berada dikelas?" tanya Azim pasalnya dikelas ini sudah tidak ada orang. Mereka sudah pulang semua karena tidak ada kelas hari ini.
Azim masih berdiri diambang pintu, belum memasuki ruangan kelas itu. Takut terjadi fitnah jika mereka hanya berduaan didalam ruangan itu.
"Iya, Zim. Tadinya aku mau kerjain dikantin tapi ternyata teman aku nggak bisa nemenin karena ada rapat katanya. Jadi aku kerjain dikelas aja"
Azim mengangguk pelan mendengarnya.
"Jadi, gimana, Zim? Kamu bisa bantuin aku selesaikan tugas ini?" tanya Adiba hati-hati. Adiba juga tau Azim tidak ingin memasuki kelas karena mereka hanya berdua saja.
Azim terdiam sebentar, "Apa yang bisa saya bantu, Adiba?" tanya Azim.
Adiba pun berdiri dari duduknya kemudian mendekati Azim yang berdiri diambang pintu.
"Proposal aku belum di acc sama dosen. Katanya disuruh revisi lagi. Bisa bantuin aku revisinya, Zim?" Adiba memberikan berkasnya kepada Azim.
Azim pun mengambilnya, kemudian melihatnya sekilas. "Saya kurang faham dengan metode penelitian ini, coba kamu tanya sama yang lain saja ya. Saya takut salah jika bantu kamu," ujar Azim.
Adiba menghembuskan nafasnya pelan, "Okedeh, Zim. Kalau gitu aku coba tanya ke yang lain aja"
Azim mengangguk, "Kalau gitu, saya permisi dulu ya"
"Tunggu, Zim--" cegah Adiba yang tanpa sengaja memegang lengan Azim.
Azim yang merasa tangannya disentuh oleh Adiba pun langsung menepisnya pelan dan mundur menjauhi Adiba karena posisi mereka terlalu dekat.
"Tolong jaga batasan, Adiba" tegur Azim.
"Astaghfirullah, maaf Zim. A-Aku reflek tadi," lirih Adiba melihat Azim yang baru kali ini marah kepadanya.
Azim menghembuskan nafasnya kasar, "Saya permisi, kamu lebih baik mengerjakannya dirumah saja. Kampus sudah sepi tidak baik sendirian saja disini. Assalamu'alaikum.." pamit Azim.
"Wa'alaikumussalam, Zim" Adiba menatap Azim yang pergi menjauhinya.
"Kamu bahkan tetap perhatian walaupun kesal denganku, Azim. Sesempurna itukah kamu.." gumam Adiba seorang diri.
"Astaghfirullahallazim, Ya Allah. Maafkan hamba karena secara tidak sadar mengaguminya" lirih Adiba.
Adiba memang sudah lama mengagumi sosok Azim. Ia melihat Azim sebagai seorang yang memegang teguh agamanya. Dan juga, hatinya yang lembut dan juga ramah kepada siapapun menjadi salah satu alasan Adiba mengagumi pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Takdir
Fiksi Remaja( Follow Sebelum Membaca ) ••• Berkuliah dikampus islam tidak pernah sedikit pun masuk dalam list kampus impian seorang Zea Almeera, yang mana sangat bertolak belakang dengan kehidupannya sehari-hari yang jauh dari kata "taat". Tanpa sengaja, Zea j...