Tubuh yang terbaring lemas, dengan tangan kanan yang berbalut perban, hingga kepala yang mendapat beberapa jahitan. Untung saja nyawanya kali ini masih bisa di selamatkan walau harus menjalani operasi dan koma beberapa jam.
Dengan mata yang terpejam, Bena berusaha menahan sakit di seluruh tubuhnya, walau sudah terbiasa dengan luka pada tubuhnya, tapi tetap saja yang namanya luka pasti sakit.
"Bang? Boleh masuk?" suara Kinashi terdengar dari luar kamar.
"Masuk aja."
Kinashi bersama dengan Kirani masuk ke dalam kamar, mata Kinashi terlihat sembab, begitu pula Kirani. Selama satu minggu ini mereka berdua terus menangis melihat Bena terbaring lemas di atas kasurnya. Apalagi Kinashi, walau sangat jahil pada Bena, tapi saat kejadian seperti ini Kinashi lah yang tidak henti-hentinya menangis di samping Bena. Saat tau Bena mengalami koma, Kinashi pingsan di rumah sakit, dan selama seminggu ini, Kinashi membolos sekolah hanya untuk menjaga Bena.
"Gimana sekarang badannya kak? Udah agak mending?" tanya Kirani, duduk di samping kasur Bena yang tidak terlalu tinggi dari lantai.
"Segini doang mah nggak ada apa-apanya buat aku." Bena berusaha mengangkat tangan kirinya menunjukan ototnya agar terlihat sehat di mata adik-adiknya itu.
"Banyak gaya." Kinashi menyentuh salah satu luka di tangan kiri Bena yang hanya luka gores, tapi tetap membuat Bena meringis kesakitan.
"Jahat banget kamu Kinashi, abang nya lagi sakit masih ada jahil, nanti kalo abang mati mau? Siapa yang jaga kamu tar, bang toyib kan jarang pulang, ayah kamu tuh."
Setelah mendengar apa yang di ucapkan oleh Bena, mata Kinashi mulai kembali berkaca-kaca. Kinashi duduk di samping Kirani, menundukkan kepalanya sebagai rasa bersalah.
"Abang itu ngomong apa? Kalo abang mati nanti, nanti, siapa yang jaga Kirani, terus nanti siapa yang anter ibu belanja, lagian kan ayah juga ayahnya abang." Suara yang terbata-bata dan air mata yang di sembunyikan dengan menundukkan kepala.
"Iya juga ya, berarti ayah kita sama, sama-sama bang toyib." Bena berusaha menghibur Kinashi agar berhenti menangis.
"Maaf, abang cuma bercanda kok, jangan nangis ya cantik." Bena mengelus kepala Kinashi dengan tangan kirinya walau terasa sakit.
Menunggu Kinashi menangis terbilang cukup lama, walau Kinashi terbilang pemberani, tapi jika berurusan dengan Bena atau Diandra sakit, Kinashi lah yang paling cengeng. Kirani jika di bilang cengeng ya sama saja, tapi Kirani lebih bisa menahan air matanya, dan lebih memilih merawat daripada harus menangis terus menerus seperti Kinashi.
Mereka mulai saling bercerita, walau Bena hanya bisa menjadi pendengar dan tidak bisa terlalu sering berbicara, saat di keroyok dan masuk rumah sakit tenggorokan Bena terkena beberapa pukulan yang membuat Bena tidak boleh terlalu banyak berbicara, atau mengeluarkan suara terlalu keras, takutnya bisa berakibat fatal bagi suara Bena.
"Diantara kalian ada yang udah punya pacar?" pertanyaan Bena mendadak membuat si kembar diam membisu.
Melihat Kinashi dan Kirani saling bertatapan, membuat Bena semakin penasaran dengan tingkah kedua adiknya ini.
"Yakin nggak mau jawab? Ya udah kalo nanti salah satu dari kalian di anter pulang sama cowok, bakal abang usir karena dia orang yang gak di kenal, bahaya."
Kinashi dengan cepat menunjuk Kirani, "Dia udah punya pacar bang, waktu itu aku liat, dia ngobrol deket banget sama cowok."
Secara spontan dengan mata yang melotot melirik ke arah Kinashi, Kirani tidak tau bagaimana Kinashi bisa melihat dirinya, padahal di sekolah Kirani tidak pernah melihat keberadaan Kinashi walau setiap pulang selalu bersama. Jika di sekolahan mereka berpisah dengan teman-temannya, mereka berdua berbeda kelas yang membuat mereka jarang bertemu, bahkan sangat jarang hanya untuk papasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang yang pertama
Teen FictionBena Bekasara. Lelaki yang memiliki postur tubuh tinggi, dengan wajah yang datar dan sorot mata yang tajam seakan siap menerkam siapapun. Tidak lagi ingin merasakan cinta karena luka pertama yang telah dirinya terima. "Ben, kamu itu udah besar janga...