BAB 3. Tukang foto

26 26 4
                                    

Sebelum penghuni rumah yang lain bangun, Bena sudah lebih dulu bangun, lebih tepatnya di paksa bangun karena ketua BEM dan panitia lainnya sudah menelpon Bena secara terus menerus. Tau mahluk satu ini sangat susah untuk bangun pagi.

Dengan kondisi yang kesal karena ritual tidurnya diganggu Bena beranjak dari tempat tidur dan langsung menyiapkan alat-alat untuk melakukan dokumentasi acara hari ini. Sebelum beranjak ke kamar mandi Bena menelpon salah satu sahabatnya, tidak lain dan tidak bukan adalah Ibra.

Ibra adalah sahabat Bena lebih tepatnya tetangga, mungkin karena tetangga menjadikan mereka bersahabat? Semua terjadi begitu saja, mereka satu SD, SMP, SMA sempat berpisah dan mereka bertemu lagi di kampus yang sama walau berbeda jurusan. Kebetulan Ibra memiliki hobi yang sama dengan Bena.

Beberapa kali Bena menelpon Ibra tapi tidak ada jawaban, Ibra pikir Bena akan menyerah? Tentu tidak. Bena mendatangi rumah Ibra yang beberapa langkah saja dari rumah Bena dan kebetulan Bena tau jika ibu Ibra sering berolahraga di pagi hari, maka dari itu Bena memutuskan untuk langsung ke rumah Ibra.

"Pagi bu." dengan wajah datar tanpa memberikan senyuman hanya badannya saja yang membungkuk untuk menunjukan kesopanan.

"Eh, Bena, ada apa? Kok pagi-pagi udah main ke rumah."

"Ibra ada bu?"

"Ada, tapi masih tidur, kalo mau kamu bangunkan, bangunkan aja ke dalam."

Setelah diberi izin, Bena langsung permisi masuk ke rumah untuk membangunkan Ibra.

"Bra bangun." Bena menggoyangkan tubuh Ibra yang sedang terlelap.

Bena sendiri tau bagaimana rasa kesal saat waktu tidur di ganggu oleh orang lain dan baru saja tadi Bena merasakannya.

"Bra." Tangan Bena beberapa kali menampar Ibra agar Ibra terbebas dari dunia mimpi.

"Bra, Bra. Apaan sih?! Jangan di singkat kali kalo panggil nama gua, kesannya lu kaya jualan pakaian dalam perempuan." Mata Ibra perlahan terbuka karena berulang kali mukanya di tampar Bena jadi mau tak mau alam mimpinya musnah.

Alasan Bena lebih memilih menampar daripada teriak adalah karena Bena tidak mau membuang-buang tenaga dengan menghabiskan suaranya.

"Gua jam tujuh nanti balik lagi ke rumah lu, gak mau tau lu harus udah siap, bantuin jadi tukang video buat acara hari ini."

"Hah? Kan gua bukan panitia gimana sih lu." Ibra hanya bisa menahan rasa kesalnya pada Bena karena tidak mendengarkan Ibra dan langsung beranjak pergi setelah menyuruh untuk bersiap.

Bener-bener dah si Bena, apa-apa dadakan terus tahu bulat bukan. Batin Ibra

Saat pukul tujuh kurang beberapa menit, benar saja Bena sudah ada di ruang tamu Ibra dengan membawa tas kamera dan nametag panitia yang menggantung di lehernya.

"Ben, kan gua bukan panitia ya? Terus lu kenapa ngajak gua?" tanya Ibra dengan pakaian menggunakan almamater kampus raya.

"Gak apa-apa, gak ada peraturannya juga harus jadi panitia kalo mau datang ke kampus." Bena langsung beranjak dari tempat duduknya dan langsung memakai sepatu agar segera berangkat ke kampus.

Ibra sudah tidak bisa lagi menolak ajakan Bena, karena Ibra juga sudah terlanjur bersiap-siap, dan entah apa yang akan terjadi jika Ibra menolak ajakan Bena karena Ibra tau sendiri bagaimana Bena jika sudah marah. Walau memang Bena terlihat seperti malas melakukan apapun, tapi, jangan mencoba untuk membuatnya marah.

Tentang yang pertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang