Di dalam kantor polisi Bena masih tetap bersandar pada bahu Neida. Entah sebenarnya apa yang Bena rasakan, tapi, dekat dengan Neida Bena memiliki perasaan nyaman saat bersama Clara dulu.
Dulu saat Bena tidak berani pulang ke rumah karena bertengkar dan wajahnya penuh dengan luka, Clara yang menjadi orang pertama yang selalu berada di dekat Bena, Clara yang menjadi orang yang meyakinkan Bena untuk mau pulang ke rumah, dan Clara lah yang menjadi orang yang selalu ada mendekap Bena, ketika Bena merasa bersalah karena mengingkari janjinya kepada Diandra.
Dan saat ini, Neida sama dengan Clara, rasa nyaman yang Bena rasakan pun sama. Bena sungguh tidak mengerti, sebelumnya tidak pernah ada perempuan yang membuat Bena nyaman, tapi Neida, entah memakai sihir apa membuat Bena memperlihatkan sisi lemahnya pada Neida.
"Ben, kamu baik-baik aja?" tanya Neida, melirik ke arah Bena yang terus bersandar di bahunya.
Jika saat hari-hari biasa dan Bena tiba-tiba bersandar di bahu Neida, mungkin Neida akan salah tingkah setengah mati, tapi di saat seperti ini tubuh Neida seakan membuat Neida tidak sadar jika saat ini Bena benar-benar dekat dengan dirinya. Seperti Neida mendapatkan sifat baru yang tidak pernah Neida bayangkan.
Bena tidak menjawab pertanyaan Neida, hanya mengangguk dengan mata yang terpejam. Bena tidak di masukan ke penjara oleh polisi setelah tau kronologi yang terjadi, Bena hanya di berikan peringatan untuk tidak melakukan hal se-nekat itu.
"Nera. Ibu, bakal nangis nggak ya?" tanya Bena tiba-tiba.
"Hmm? Kok nangis? Emang kamu ada buat salah apa?"
Neida melihat Bena tersenyum dengan mata yang masih terpejam, baru kali ini Neida melihat senyuman Bena yang datang atas keinginannya sendiri.
"Dulu, aku pernah koma, sebelumnya juga aku udah pernah koma, cuma yang pertama itu yang paling parah, aku koma sampai beberapa minggu, karena ada masalah di otak, untung aku bisa selamat pas operasi." Bena berhenti.
"Aku udah lupa kejadiannya, cuma, Kinashi sama Kirani cerita, saat aku koma dan kondisi sangat mengkhawatirkan, ibu, hampir terkena serangan jantung, dari situ aku udah janji sama ibu untuk tidak berantem lagi, cuma aku selalu mengingkari itu dan beberapa kali membuat ibu menangis karena aku," sambung Bena.
Neida terkejut mendengar cerita Bena, entah sudah berapa banyak luka pada tubuh Bena, saat Neida melihat Bena di pukul pun, Bena seakan tidak merasakan apapun seperti terbiasa menerima luka dari pukulan bahkan dari benda tajam.
Neida meyakini satu hal dari semua cerita Bena yang Neida dengar dan Neida lihat langsung, Bena tidak pernah bertengkar atas kepentingan dirinya sendiri, Bena selalu bertengkar ketika ada seseorang yang di ganggu, atau keluarganya yang di buat menangis oleh orang lain.
Spontan Neida mengelus rambut Bena lembut. Anehnya Bena tidak menolak tangan Neida dan tidak berusaha menyingkirkannya.
"Bebek, aku nggak bisa bilang kalo ibu nggak akan nangis, cuma ibu nangis bukan berarti marah, dia peduli sama kamu, kamu harus belajar mementingkan diri kamu sendiri." Neida terus mengelus rambut Bena.
Rambutnya sangat halus, sedikit panjang, dan tidak terlalu lurus, membuat Neida betah saat memegangnya.
"Kamu, kasih aku nasihat kaya ngasih nasihat hewan." Bena tertawa kecil, membuat Neida semakin ingin tahu semua tentang Bena, tawanya yang baru saja Neida lihat, kelemahannya, semua sifatnya Neida ingin tahu itu.
"Kamu kan emang Bebek, hehe." Neida mengacak-acak rambut Bena sebelum melepaskan tangannya di rambut Bena.
"Kamu kenapa dari tadi tutup mata terus?" tanya Neida yang heran sedari selesai memberikan keterangan, Bena tidak mau membuka matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang yang pertama
Fiksi RemajaBena Bekasara. Lelaki yang memiliki postur tubuh tinggi, dengan wajah yang datar dan sorot mata yang tajam seakan siap menerkam siapapun. Tidak lagi ingin merasakan cinta karena luka pertama yang telah dirinya terima. "Ben, kamu itu udah besar janga...