15

1.4K 106 2
                                    

Diary 20**, 4, 3

21 tahun berlalu tanpa tahu apa yang sudah kulakukan sebenarnya. Menjalani hidup dengan sebisa mungkin menjauhi yang namanya masalah. Entah itu keluarga, teman dekat, pasangan; semuanya ku anggap sama saja.

Sejak kecil aku diminta untuk mematuhi aturan. Berkata jika aku membuat masalah kecil pasti akan ada dampak yang besar menanti di depannya. Selalu mengikuti peraturan demi kepuasan yang lebih dewasa. Apa yang kuinginkan saat kecil untuk menjadi anak biasa pada umumnya sangat sulit karena aturan itu.

Aturan terus berlaku hingga sampai sekarang. Dulu saat masuk ke sekolah menengah pertama, aku memiliki teman yang suka membolos. Tidak bisa dikatakan teman dekat tapi dia selalu mengajakku mengobrol terlebih dahulu. Dia selalu membuka dirinya dan bercerita apa yang dia rasakan atau alami. Tapi aku, aku tidak bisa membuka diri sendiri. Aku tidak sepercaya diri itu untuk berbagi kisah kepada temanku.

Beranjak sedikit dewasa, sekolah menengah atas yang dikatakan memiliki kisah yang tak terlupakan. Benar, aku pernah memiliki kekasih yang sangat aku cintai. Kali pertama aku membuka diriku sendiri kepada orang lain. Berbagi cerita satu sama lain setiap harinya. Menghabiskan akhir pekan berdua hingga terkadang lupa waktu. Aku jadi sering dimarahi karena pulang terlambat.

Hingga pada akhirnya aku mengetahui segalanya. Kekasihku berbohong. Dia tak pernah menyukaiku, yang dia lakukan hanya membuang waktu bosannya dan bermain-main denganku. Kukatakan yang sebenarnya, dia benar-benar hanya mempermainkanku.

Saat itu aku tak sengaja mendengar pembicaraan dia dengan teman-temannya. Aku ingin masuk ke kelasnya seperti biasa tapi sebelum masuk aku malah mendengar hal menyakitkan itu.

"Guan Shan? Si bodoh yang benar-benar menganggapku mencintainya. Haha~! Kau harus tahu wajah bodohnya saat ia menangis waktu itu. Dia bilang jika dia dimarahi keluarganya. Ugh! Sangat menjengkelkan~! Dia pikir aku akan bersimpati atau apa? Aku muak dengannya."

Aku terdiam di tempat sebelum membalikkan tubuhku. Aku meninggalkan kelas itu tanpa sepengetahuannya. Aku mulai mengabaikannya sejak saat itu.

Biasanya aku akan sangat senang jika dia meminta pulang bersama atau pergi di akhir pekan, tapi ucapannya benar-benar menyakitiku.

Kami putus tepat setelah kelulusan. Aku yang memutuskannya. Aku berkata jika aku akan pindah ke luar kota dan tak bisa melanjutkan hubungan jarak jauh. Dengan santainya ia hanya berkata ya tanpaa benar-benar peduli. Aku sudah menyiapkan diri sebelum mendengar jawabannya, tapi tetap saja aku merasa sakit hati. Aku mulai menutup diri kembali.

Aku kuliah di A university. Bisa dibilang aku beruntung karena dari 20.000 pendaftar hanya ada sekitar 3500 siswa yang diterima termasuk diriku. Setelah memutuskan untuk hidup sendiri di kota besar yang jauh berbeda dengan rumahku, aku menghabiskan waktuku disini dengan belajar. Tidak pernah sekalipun aku melewatkan waktu belajar.

Aku berpikir semuanya baik-baik saja. Aku merasa nyaman sendirian tanpa seorang keluarga menemani di kota ini, ataupun teman dekat bahkan kekasih baru. Kurasa sudah hampir 3 tahun aku hidup sendiri disini?

Apa benar ini pilihanku?

Apa benar ini yang kuinginkan?

Apa benar aku baik-baik saja?

Ruang kosong yang aku abaikan di hidupku mulai membesar. Merasakan tekanan-tekanan kesendirian yang sangat menyakitkan. Lalu aku berpikir, "Seharusnya aku lebih menjadi anak teratur."

Jika saja aku menjadi lebih patuh, aku akan hidup damai seperti dulu. Walaupun dipimpin peraturan yang memuakkan itu. Yang kecil harus mengikuti perintah yang lebih tua.

Aku mulai menyadari jika aku tidak bisa sendiri. Aku membutuhkan seseorang tapi aku takut harus mempercayai orang. Aku tidak mau terluka sendirian. Aku tidak mau memikirkan orang lain. Berlari dari kenyataan yang sangat menyakitkan, menghindari setiap perbuatan yang akan membuat masalah besar. Hidupku hanya terus seperti itu, berulang seperti kaset rusak. Aku bosan. Aku muak. Aku lelah.

Hingga saat minggu terakhir di winter break, entah ini sebuah keajaiban atau bukan tapi kurasa Tuhan mengirimkan sinyal jika aku akan segera keluar dari penderitaan ini. Seseorang tak dikenal mengembalikan ponselku yang tertinggal di minimarket. Aku baru berjalan keluar sekitar 100 meter dari sana.

Orang itu sangat tinggi, rambut hitam pekat yang turun menutupi dahi, alis yang tajam dan mata yang mengintimidasi. Tapi ketika ia tersenyum, bahkan dunia pun bisa merasakan kehangatannya. Aku tertegun.

Hatiku berdebar-debar hingga sulit bernafas. Udara dingin yang menyentuh kulitku sampai tidak terasa lagi.

"Kau baik-baik saja?" Tanyanya. Suaranya tegas tapi terdengar lembut.

Dia meraih tanganku dan mengembalikan ponselku.

"Hati-hati lain kali," ujarnya.

Setelah itu dia pamit pergi sementara aku masih berdiri disana tanpa sepatah katapun. Aku menyukainya, pikirku.

Satu minggu berlalu dan akhirnya aku mengetahui siapa namanya.

He Tian.

Dia seangkatan denganku tapi kami berbeda jurusan. Mungkin kami pernah beberapa kali berpapasan tapi aku tidak menaruh perhatian. Dia sangat tampan.

Aiu ingin lebih mengenalnya.

Tapi sesuatu kembali menahanku, pikiranku terus berkata, "Jangan mempercayai orang baru."

Benar, selama ini aku hidup tenang tanpa membuat masalah. Aku tidak ingin membuat masalah untukku maupun keluargaku. Aku tidak ingin membuat orang lain singgah dihidupku lebih dari sekedar kenalan biasa. Aku hanya takut jika mereka mengabaikanku lagi. Perasaan itu sangat kuat melekat di hatiku.

Aku berharap bisa mempercayai orang sekali lagi tanpa orang itu menghianatiku.

Sebuah harapan kecil yang sangat aku doakan. Tuhan...

Diary ke 23
Ttd :
Mo Guan Shan.

TianShan One/Twoshoot (19days)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang