Sembilan.

5.5K 400 18
                                    

Ketiganya benar-benar pergi ke taman sore itu. Juno yang paling antusias disini, Taeyong sudah sadar dan saat bertemu Jeno dirinya tidak ingin melihat anaknya tersebut.

Haechan mengelus bahu Jeno menenangkan, mengatakan jika nanti ia akan membujuk Taeyong agar mau berbicara dengan Jeno. "Ma! Mau eskrim, gulali, permainan gelembung!" Pekik Juno begitu gembira.

"Iya sayang, sekarang makan dulu sosisnya ya." Haechan mengusap rambut anaknya. Jeno memandang keduanya dengan pandangan yang sulit diartikan. Sesuatu dibenaknya mengatakan jika ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Haechan. Momen kebahagiaan yang hanya hari ini dapat ia lihat.

Memang benar bukan? Nanti dirinya dan Haechan akan berpisah, membuka lembaran baru masing-masing, tetapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?

"Kamu mau tinggal dimana nanti Haechan? Mas tanya sama ayah kamu nggak mau tinggal dirumah yang mas beli."

"Aku mau tinggal di Bandung, di rumah aku sama orangtua aku mas. Aku nggak mau banyak repotin kamu nantinya."

"Tapi Bandung jauh, Haechan."

"Nggak jauh kok mas, kalau aku ke luar negeri baru jauh."

"Ma! Udah abis. Pa ayo main bola, sama mama juga." Kedua orangtua itu mengangguk lalu bermain bola bersama.

Dengan Kekehan Juno, senyum Haechan dan semangat Jeno. Keluarga itu tertawa disana seperti keluarga bahagia. Seperti tidak ada masalah yang hadir diantara mereka.




"Kamu kemana aja? Aku telfon kok susah. Aku mual-mual dari pagi, gara-gara anak kamu!"

Jeno mengernyit. "Kamu nggak ikhlas mengandung anak saya? Saya juga bingung, kenapa kamu bisa hamil 2 bulan sedangkan saya lakukan ke kamu beberapa Minggu yang lalu? Dan dua bulan kemarin saya pergi ke luar kota."

"Kamu raguin aku Jeno?" Karin mendramatisir.

"Ya, dan saya akan ambil tes DNA. Saya nggak sebodoh itu Karin."

Jeno kembali pergi setelah melihat sebentar keadaan Karin.




Lelaki itu kembali ke rumah dan melihat Haechan yang sedang memasak mie. "Mas mau juga dong."

"Eh! Kaget, bukannya mau nginep di rumah Mbak Karin, mas?"

"Kata siapa? Kamu selalu menyimpulkannya dengan cepat Haechan, mas mau makan mie dong! Pake telor ya."

"Iya siap! Semuanya jadi 20 ribu ya."

"Mahal banget? Hahaha." Keduanya tertawa.

Setelah beberapa menit, dua mie instant itu tersaji. "Selamat menikmati mas Jeno."

Jeno tersenyum, mengelus rambut lembut Haechan lalu memakan makanannya. "Bunda udah keluar tadi sore waktu kita pulang dari taman. Mas yang anter." Ujar Jeno.

"Oh ya? Bagus kalo gitu."

"Kamu yang donorin darah buat bunda?" Haechan menoleh lalu mengangguk. "Iya, lagipula lagi urgent kan mas."

"Dan suster bilang sama aku kalo darah kamu nggak dipake sama mereka. Kamu punya penyakit ginjal?"

Deg.

"Mas?" Salah, seharusnya ia tidak menerima pemeriksaan darah menyeluruh sebelum darahnya diambil.

"Kenapa kamu nggak bilang? Kenapa kamu tetep mau donorin darah yang bahkan kamu butuh banget darah kamu sendiri Haechan? Untung aja dokter tes dulu darah kamu."

"Aku baru tau waktu Juno umur satu tahun mas. Aku terlalu banyak minum obat tidur, itu aja mas."

"Itu aja? Jadi kamu pingsan waktu itu?" Haechan mengangguk, mengambil tangan Jeno untuk ia pegang. "Aku nggak papa mas, semuanya juga karena kecerobohan aku sendiri."

Sang dominan mulai menangis. "Mas jangan nangis." Jeno tetap menangis, bahu pria itu bergetar. "Kenapa kamu minum obat tidur Haechan? Seberapa besar mas nyakitin kamu hm?"

"Karena aku susah tidur mas. Mas nggak nyakitin aku sebegitu dalam kok, mas mau berubah dan mau ngomong seperti ini sama aku juga aku udah bahagia banget. Mas Jeno bahagia terus ya, harus pokoknya."

Jeno benci, benci dengan Haechan karena pria ini tidak menyakiti nya kembali. Benci terhadap dirinya sendiri karena terlambat menyadari, jika Haechan adalah karunia Tuhan yang benar-benar telah ia sia-sia kan saat ini.



Haechan sudah berkemas, dibantu oleh Taeyong juga. Koper besar itu sudah siap, tinggal menunggu Jeno pulang karena pria itu bilang akan mengantar Haechan dan Juno ke Bandung.

"Bun, terimakasih ya sudah rawat Haechan. Mama diatas sana pasti sangat berterimakasih juga sama bunda karena sudah rawat Haechan. Haechan minta maaf karena Haechan banyak sekali salah sama bunda."

Taeyong menggeleng, memeluk anak sahabat sekaligus menantunya itu dengan erat. "Sayang, Haechan nggak ada salah sama bunda. Bunda yang salah, maafkan Jeno anak bunda ya. Maaf sekali."

"Iya bunda, semoga mas Jeno bahagia ya. Bunda juga mau punya cucu lagi nih! Selamat ya."

"Bagi bunda, cuman Juno cucu bunda gak ada yang lain."

Tuhan, anak baik seperti ini benar-benar sangat baik. Engkau terlalu banyak memberinya cobaan. Bahkan saat pria manis ini tersakiti, Haechan masih tetap bisa tersenyum.

Semoga engkau bisa memberinya kehidupan lebih baik untuk kedepannya.







Tbc.

Lover (Nohyuck) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang