10. Mengunjungi Mereka

206 52 160
                                    


Pada dasarnya, lelaki kejam 'itu' tetaplah seorang ayah yang ingin melihat anaknya sehat dan tumbuh dewasa

____________

Sudah hampir dua minggu semua berjalan dengan semestinya. Kecuali Bian yang sekarang sudah tidak pernah lagi datang ke kost, bahkan sudah jarang bertemu lagi dengan teman-temannya selain di dalam kelas bimbingan untuk tugas akhir. Pun, demikian dengan Jena. sudah dua minggu tidak pulang ke Jakarta karena kesibukannya juga, sehingga untuk komunikasi agar tetap berjalan, mereka melakukan videocall.

Bian menghisap kuat rokok yang kini ukurannya sudah sepanjang jari kelingking, lalu setelah mengepulkan asapnya ia buang rokok itu dan menginjaknya dengan ujung sepatu agar apinya padam.

Sembari menunggu Chandra dan Jovan —yang katanya ingin makan siang bersama, Bian sengaja sedikit berkeliling di sekitaran jalan menuju kampus. Mencari kesegaran untuk melepas penat katanya. Hingga kakinya berhenti di dekat pohon besar yang menjadi tempat berlindung kesayangnnya.

"Meoww, meoww. Nathalie, where are you, baby?" teriak Bian sampai adanya hewan berbulu putih dan oranye menghampiri Bian dengan semangat. Sadar akan kehadiran Nathalie, Bian berjongok dan mengelus lembut kepala Nathalie, lalu mengeluarkan sebungkus makanan kucing yang sengaja ia bawa.

"Kamu pasti kangen aku, ya? Sorry, kemaren gak bisa ngasih makan." Bian terkekeh tanpa berhenti mengelus Nathalie—juga memperhatikannya makan.

"Woy! dicariin ternyata di sini." Suara berat mengintrupsi, siapa lagi pemiliknya kalau bukan Chandra. "... Ternyata malah lagi selingkuh sama mpus."

Bian berdiri dan terkekeh menyadari dua sahabatnya ternyata mencarinya. Jujur Bian rindu dengan tingkah konyol teman-temannya. "Yuk, ke warung pojok."

Mereka bertiga berjalan beriringan menuju warung pojok—dinamakan warung pojok karena warung itu terletak di pojok jalan. Warung nasi yang merangkap dengan warung kopi.

"Kemana lu kemaren? Mentang-mentang udah mau beres Bab dua, lu." Jovan merangkul Bian, tidak sulit karena tinggi mereka hampir sama. Berbeda dengan Chandra yang tubuhnya tinggi tmenjulang.

"Tidur, males banget kemaren." Bian pasrah menahan bobot Jovan karena tubuhnya bertumpu padanya.

"Jahat bener lu, Bi ninggalin kita. Emang mau kemana sih buru-buru diselesaiin? Biasanya juga paling ngaret, mau kawin lo sama Jena?"

"Nikah, Ndra. Kawin nanti abis nikah," bantah Bian. "Gue buru-buru ya karena mau cepet selesai aja. Gak enak dilama-lamain. Lu berdua juga buruan deh, Juna malah udah bab akhir," lanjutnya.

"Yeh, jangan disamain sama Juna, dong. Gue mah nanti dulu aja deh, belum mau menghadapi sidang." Jovan menimpali.

"Bi, kenapa sih lo? Meriang? Masuk angin? Kagak biasanya pake hoodie sama topi di siang bolong."

"Kagak, ganteng gak gue?"

"Dih, mulai narsisnya, nih." Mereka sudah sampai di warung pojok dan mendudukan diri di bangku yang disediakan. Kebetulan sedang tidak terlalu banyak pelanggan yang makan disana.

"Hallo, Bu Rasmi, seperti biasa tiga porsi nasi sama ayam penyet." Chandra menyapa pemilik warung pojok.

"Gue gak makan, Ndra. Pesen kopi item aja deh, satu sama pisang goreng, Bu."

"Iya, tunggu sebentar, ya," jawab Bu Rasmi

"Tumbenan banget lu gak makan ayam penyet?"

"Masih kenyang gue—"

Hello, Angel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang