32. 10, 11, Selamanya

245 31 37
                                    

"BIAN!!!"

Jena berteriak kencang sampai pita suaranya bisa saja putus. Langkahnya yang semula cepat berubah menjadi berlari. Ingin segera menyusul Bian.

Perasaannya sudah bercampur aduk. Pun dengan ribuan tanya yang kini berjejal dalam benaknya.

Mengapa semua jadi seperti ini?

Kacau. Hanya kata itu yang mungkin bisa menggambarkan keadaan Jena.

"BIAN!!!"

Jena berhenti berlari dan berusaha mengatur napasnya. Ini benar-benar di luar dugaan dan ia rasa Bian sudah keterlaluan.

"Aw!" Bian meringis saat merasakan ada sesuatu yang mengenai kepala belakangnya. Belum sempat berbalik pun ia dapat melihat sandal berbulu pink dengan karakter Hello Kitty.

Bian berbalik badan dan melihat wajah geram Jena yang mulai mendekat. Dalam samar cahaya lampu taman ia bisa merasakan betapa bergejolaknya amarah Jena. Sudut bibirnya sedikit terangkat membuat senyuman menyebalkan, sedangkan dalam hatinya ia berdoa agar Jena tidak mencubit atau memukul lengannya.

Karena cubitan dan pukulan Jena sakitnya tidak bohong. Bian berani bertaruh untuk membuktikannya.

"LO TUH JAHAT BANGET SUMPAH!" Jena berteriak tepat di depan wajah Bian.

Bian yang masih terkejut tidak sempat menghindar saat telapak tangan Jena mendarat di lengannya sampai menimbulkan bunyi.

"Hehe ... Sakit, Na. Ampun, ampun ...."

Melihat Bian cengengesan justru membuat Jena samkin kesal dan marah. Akan tetapi, di saat bersamaan juga tangisnya pecah.

"Apa lo ketawa? Gak lucu tau!" sentak Jena yang kembali memberikan pukulan di lengan Bian. Kali ini, ditambah dengan cubitan.

"Iya, iya, maaf. Tapi, ini sakit banget, Na. Sumpah aku gak bohong." Bian meringis sambil berusaha menghindar.

Jena berjongkok sambil terus menangis kencang, membuat Bian sedikit kelabakan. Paper Bag pemberian dari Bian masih tetap dipegang erat oleh Jena.

"Eh, Yang. Aduh jangan nangis gini, dong. Udah malem, nanti disangka orang ada mba kunti, loh." Bian ikut berjongkok untuk menenangkan Jena.

"BODO!" Tangis Jena semakin keras.

"Jena. Nanti dikira orang aku apa-apain kamu, loh. Kita duduk lagi di bangku, ya," bujuk Bian.

Jena tak menggubris. Ia masih sibuk dengan tangisnya dan cairan hidung yang sedikit keluar bersamaan dengan air mata.

Sebenarnya, Bian merasa gemas dengan tingkah Jena. Ingin sekali rasanya ia mencubit pipinya atau hidungnya. Namun, kondisinya sedang tidak memungkinkan.

"Ya udah, kamu puasin aja nangisnya. Maaf ya kalo gak suka sama hadiahnya." Bian berdiri dan membetulkan jaketnya. "Aku pergi dulu, ya."

"Bian ...," lirih Jena saat mendengar Bian melangkah. Ia takut Biannya pergi lagi dan tidak kembali.

Sialnya, saat Jena mengangkat kepala dan mengira Bian sudah pergi menjauh, ternyata sosok itu masih berdiri di depannya. Hanya bergeser beberapa jengkal saja. Jena tentu saja malu, apalagi saat melihat wajah Bian yang tampak meledeknya.

"Kenapa? Kamu gak suka 'kan sama hadiahnya?" tanya Bian sambil menggoda.

Jena lantas berdiri. "Suka," jawabnya cepat. "Tapi, maksudnya apa?"

"Ya gak gimana-gimana. Itu aku ngasih hadiah ke kamu karena hari ini wisuda. Kalo gak suka gak—"

"Mana ada orang gak suka kalo di kasih cincin permata, Bian!" Dengan cepat Jena memotong ucapan Bian, sehingga membuat Bian terkekeh sambil menahan tawa.

Hello, Angel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang