12. Malam Tanpa Lamunan

176 45 85
                                    

Malam ini Bian tidak berada di kamarnya dengan rokok ataupun alkohol. Tidak ada juga lamunan panjang seorang diri hingga ia merasa sakit kepala, sebab tidak tertidur sama sekali. Malam ini, Bian sudah berdiri dengan sumringah di depan pintu rumah Jena dengan senyuman yang yak luntur sejak tadi. Entahlah, bertemu dengan Jena selalu saja membuat dirinya merasa bahagia.

Jena baru saja menyelesaikan urusannya di Bandung, dan tadi siang ia sudah kembali ke Jakarta. Kabarnya, malam ini Jena akan mengajak Bian untuk berburu makanan di pinggir jalan.

"Eh, Bian ganteng. Masuk, Bi. Jenanya masih siap-siap." Mama Jena menyambut senang saat pintu rumahnya terbuka.

Bian menurut dan berakhir dengan mengekori Ratih sampai ke ruang tengah. Ternyata wanita yang melahirkan Jena tersebut sedang asyik menonton sinetron.

"Kamu udah makan belum?" tanya Ratih.

Bian yang duduk di sebelah Ratih pun menoleh cepat. Sudah biasa memang seperti itu, Bian sudah merasa dekat dengan Ratih sehingga tidak merasa canggung.

"Udah Tante, nih, liat perut Bian sampe mau meledak rasanya karena banyak makan. Mami udah dua hari ini selalu masakin Bian di apartemen." Bian mengelus perutnya.

"Yah, padahal Tante kebetulan masak makanan yang kata kamu aneh tapi doyan, nasi tutung oncom. Tuh, liat di meja banyak banget. Jena gak terlalu banyak makan, soalnya lagi diet katanya."

"Aslian, ini Bian kalo enggak baru aja makan gak bakalan nolak, Tan, tapi ini kenyang banget. Lagian Jena ngapain sih diet? Nanti pipinya gak ada buat aku unyel-unyel."

Ratih terkekeh, tak tahu saja Bian kalau Jena sering marah-marah tidak jelas hanya karena berat badannya satu kilogram.

Fokus Ratij kembali pada tontonannya, sehingga tanpa sadar ia mengabaikan Bian.

"Tante kayaknya seru banget nontn sinetronnya?

"Ssst... Jangan ganggu dulu! Ini lagi menegangkan soalnya. Anaknya Andin belum ketemu lagi diculik."

"Tante kayaknya sama aja kayak Mami." Lucu saja saat melihat wajah Ratih terlihat serius dan menegangkan hanya karena sinetron. Sepertinya hampir semua ibu-ibu sama saja, pikir Bian.

"Susul aja gih Jena nya di kamar! Tante mau fokus dulu liat ini."

"Ya udah Bian ke atas dulu ya, Tan" Segara Bian beranjak dan menuju kamar atas milik Jena.

"Oh iya, Bian izin ya pinjem anak cantiknya Tante buat malam ini. Janji gak bakalan macem-macem dan jaga Jena dengan sepenuh hati seperti anak sendiri sehingga nanti dipulangkan dalam keadaan mulus tanpa kurang apapun."

"Dikira Jena Malika si kedelai hitam apa? Iya, Jena udah izin juga kok sama Tante."

"Makasih banyak Tante cantik." Segera
Bian beranjak dan menuju kamar atas milik Jena. Sebelum masuk ia ketuk terlebih dahulu, sebab takut Jena dalam keadaan yang tidak ingin privacy nya terganggu.

"Tok, tok, tok. Jenaaa, main yuk!" seru Bian seraya menyuaran ketukan pada pintu kayu tersebut.

"Bii, masuk aja!" titah Jena dari dalam kamar. Maka, tanpa ragu Bian memutar knop pintu dan tampaklah Jena yang sedang mengeringkan rambut.

"Eh, ada anak TK. Sama siapa, Dek ke sininya?" Jena bergurau saat melihat penampilan Bian pertama kali dari balik cermin "Bian, kamu kenapa lucu banget sih pake kupluk gitu?"

Bian tertawa pelan, "Ya, takutnya kamu malu aja bawa pacar botak."

"Enggak deh, sumpah. Kamu lucu, nanti kamu dikira adik aku."

Bagaimana tidak, Bian datang dengan pakaian dengan serba hitam. Dan yang membuatnya lucu adalah Beanie hat yang juga hitam. Hoodie hitam yang terlihat menenggelamkan tubuh Bian yang membuat Bian terlihat lebih muda dari Jena.

Hello, Angel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang