28. Selangkah Menuju Yakin

161 25 22
                                    

Rumahnya telah kembali cerah dan bukan lagi pemberi lelah.

Jika dulu Bian akan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tinggal di kost atau di apartemen, menghabiskan banyak waktu dengan teman-temannya untuk mencari kesenangan karena sungkan untuk pulang ke rumah. Namun, saat ini, ia telah menemukan rumahnya. Rumah yang ia angankan semenjak masih berusia belia. Rumah yang ia impikan dari kecil, dan yang ia janjikan pada saudaranya sebelum tragedi mengerikan itu terjadi.

Setelah kejadian dua bulan silam dan kabar ayahnya yang jatuh sakit, Bian yang memang sudah memutuskan untuk tinggal bersama Kirana dan Aldo, kini membagi waktunya untuk bisa tinggal di rumah ayahnya. Rumah yang seharusnya ia tempati. Disela kesibukannya dengan persiapan sidang dan hal lainnya, ia akan menyempatkan untuk datang berkunjung ke rumah itu tiga kali dalam seminggu.

Tentu saja, walaupun Bian sudah berdamai dengan sang ayah. Ia tidak akan meninggalkan Kirana dan Aldo begitu saja, karena kasih sayang Aldo dan Kirana selama ini, Bian bisa merasakan bagaimana disayangi dan dicintai oleh orang tua utuh dalam keluarga yang hangat.

"Sedikit lagi makanannya, Yah. Nanti abis ini minum obat, ya." Begitu kata Bian untuk menyemangati sang Ayah agar bisa menghabiskan porsi makannya.

Hardi yang disuapi mengangguk patuh. Terlalu senang dengan perhatian kecil Bian sampai ia meneteskan air mata. Namun, di sisi lain, dengan perhatian Bian juga, rasa bersalahnya muncul sampai membuatnya sesak.

Bian tersenyum lembut saat menyuapkan makanan. Mengelap sekitaran mulut ayahnya dengan tisu karena Hardi yang kesusahan menerima suapan itu akibat mulutnya yang tidak lagi simetris.

"Minumnya, Yah." Lagi, Bian memberikan minum pada Hardi lewat sedotan khusus agar mempermudah dan tidak tersedak.

Rasanya Hardi ingin berteriak saja agar sesak karena rasa bersalah yang tak kunjung usai itu hilang. Namun, seberapa keras pun ia mencoba mengucapkan kata maaf, ia tidak bisa. Dan penyesalannya hanya bisa ia simpan sendiri sebagai deritanya sampai waktu menjemputnya.

"Ayah, kenapa kalo disuapin atau deket sama Bian selalu nangis? Nanti kayak yang sebelumnya Ayah jadi sesak," ucap Bian sambil mengusap air mata yang meluruh tak berhenti dari mata Hardi dengan ibu jarinya.

Yang keluar hanya suara tertahan dari mulut Hardi, sehingga menimbulkan erangan dan rintihan yang tidak jelas.

Hari ini Bian memang sengaja datang lebih pagi untuk bisa menemani ayahnya sarapan dan minum obat. Mengajaknya melihat sekitaran rumah dan merasakan hangatnya sinar matahari pagi. Sekarang, mereka berdua tengah berada di teras belakang dengan Hardi yang duduk di kursi rodanya dan Bian duduk di salah satu kursi.

Kondisi Hardi memang tidak jauh berbeda dari dua bulan lalu. Namun, setelah dilakukan operasi, banyak pengobatan, dan pelatihan fisik, sekarang ada sedikit peningkatan dalam pergerakannya. Nilai kekuatan otot yang semula 2, sekarang sudah naik menjadi 3. Tentu saja, semangat dan dukungan dari Bian setiap kali pemeriksaan dan pelatihan membuat Hardi juga semakin ingin sembuh.

Bian mengerti, ia mengerti jika ayahnya sudah seperti itu, maka tandanya sang ayah ingin mengucapkan kata maaf.

"Bian kan udah bilang dari dulu. Bian udah maafin Ayah. Inget kata Dokter, Ayah jangan banyak pikiran. Ayah sayang 'kan sama Bian?"

"Kalo Ayah selalu nangis pas ketemu Bian, Bian sama Jena gak datang lagi, deh. Soalnya bikin Ayah sakit." Ancaman Bian tidak serius, hanya saja untuk membujuk agar ayahnya tidak menangis setiap bersamanya.

Hardi berusaha menggeleng ribut, walaupun yang dihasilkan hanya gerakan lemah dan lambat. Ia tidak bermaksud demikian. Ia senang Bian bisa berkunjung, bahkan membawa gadis cantik yang ia kenalkan sebagai kekasihnya. Namun, tetap saja rasa sesak dan sesal selalu hadir saat melihat sorot mata Bian.

Hello, Angel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang