20. Semua Punya Alasan

160 38 64
                                    

Bacanya pelan-pelan, yaa...





Selamat membaca

___________________________

Jena melangkah gontai menuju ruang tengah. Beberapa menit yang lalu ia baru saja memarkirkan mobilnya di halaman. Sisanya, biar Pak Mulyadi saja yang mengurus. Jena bahkan sudah terlalu lelah. Tenaganya seolah tersedot habis oleh semua kejadian yang ia alami dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.

Wangi Lavender khas sekali mamanya langsung menyambut kedatangannya. Jika biasanya wewangian itu akan membuatnya rileks, kali ini tidak sama sekali. Tas selempangnya ia lempar sembarang, sedangkan tubuhnya ia hempaskan dan bersandar ke atas sofa. Matanya terpejam erat dengan sebelah tangan yang ia pakai untuk menutupinya.

Jena menghela napas berat. Kemarin dan hari ini terasa begitu sulit baginya. Ingin menangis pun rasanya sudah tidak kuasa. Air matanya seolah surut tak tersisa, sehingga terasa sakit saat ia memaksanya untuk keluar. Terlalu banyak fakta dan kejadian yang membuat kepalanya dilanda pening.

Bian dan semua fakta tentangnya.

"Ini diminum dulu teh angetnya, Na!" Suara Ratih membuyarkan segala kemelut pikiran Jena.

Jena membuka matanya, melihat mamanya datang dengan secangkir teh hangat. Namun, tak merubah posisi duduknya. Ia tetap bersandar lelah pada sandaran sofa.

"Mama kok tumben jam segini ada di rumah?" tanya Jena pada sang mama yang kini ikut mendudukan diri di dekat Jena.

"Tadi kebetulan pas di toko Mama liat mobil kamu. Ya udah, Mama titip tokonya ke Bi Ida," jawab Ratih, "ini cepetan minum dulu tehnya, Na. Biar badan kamu lebih enakan," lanjutnya.

Bi Ida adalah asisten rumah tangga yang biasa membantu Ratih, tetapi sesekali akan membantu di toko. Kebetulan toko milik Ratih pun tidak jauh dari rumahnya.

Jena menurut. Ia sedikit bangkit dan membawa cangkir teh hangat itu untuk diminum, ada sensasi rasa hangat yang kini membuat tubuhnya sedikit merasa lebih baik. Setelah selesai, ia kembalikan lagi cangkir itu ke aras meja dan kembali pada posisi awal.

"Gimana keadaan Bian? Mama kaget waktu tadi pagi kamu ngabarin tentang Bian."

"Tadi pagi dia belum sadar, yang bikin kita khawatir karena kata dokter kalo sampe nanti malem gak sadar, Bian dinyatakan koma. Syukurnya pas agak siangan Bian sadar." Mata Jena mulai berkaca-kaca saat memulai cerita.

"Tapi, Ma ...." Suara Jena mulai bergetar. Sedangkan Ratih masih setia menunggu anaknya bercerita

"Bian, Ma. Di-a ternyata menderita selama ini. Dia punya trauma, dia selalu nyalahin dirinya sendiri, di-a dibohongi ...." Jena tak sanggup untuk melanjutkannya, sebab isak tangisnya kini menghambatnya untuk berucap.

Ratih langsung menarik tubuh putrinya ke dalam pelukannya. Tangis Jena pun langsung pecah dengan suara yang membuatnya terasa tersayat. Anaknya begitu kesakitan atas apa yang terjadi, walaupun ia tidak tahu bagaimana cerita lengkap dibalik semuanya. Akan tetapi, ia dapat merasakan bagaimana terguncangnya Jena. Jena tidak pernah menangis sedemikian parah, bahkan saat ia dan suaminya resmi berpisah pun. Jena hanya menangis dengan wajar.

Tanpa ragu, Ratih mengelus surai sang anak. Sengaja ia tak memberikan kalimat penenang, sebab ia rasa Jena hanya butuh meluapkan segala bebannya lewat tangisan.

Belasan menit berlalu, tetapi tangis Jena masih tetap sama. Tidak peduli dengan baju sang mama yang sudah basah akibat airmatanya. Ia hanya butuh menangis untuk membuatnya sedikit merasa lega.

Hello, Angel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang