"Sudah berapa kali kubilang, aku tidak ingin bercerai, Chenle-ya."
Chenle yang baru saja masuk ke ruangan Jisung langsung mengerutkan dahinya mendengar perkataan suaminya. Jisung mengirimkan pesan dua jam yang lalu, meminta Chenle untuk datang ke kantor, maka Chenle datang sesuai permintaan dengan sekotak bekal untuk Jisung sebagai bonusnya.
"Aku tidak menghitung. Seharusnya kau beri tahu aku kau ingin tahu jumlahnya, akan kuhitung dari awal jika begitu."
"Bukan itu! Bu-- ish." Jisung yang sebelumnya menarik urat dengan cepat menarik nafas dan mencoba untuk tenang. "Itu bukan pertanyaan."
Chenle termenung beberapa saat sebelum memicingkan matanya. "Aku mencium sesuatu."
"Kau menghampiri Jaemin Hyung dan memintanya untuk menikahiku. Kau berkata bahwa kita akan bercerai. Kau melakukan semua seenaknya sendiri, ini pernikahan kita, Chenle. Butuh kesepakatan dua pihak. Aku sudah bilang aku s--"
"Jangan berusaha, Jisung-ah." Chenle memotong dengan tegas. "Kau hanya merepotkan diri sendiri. Jika hatimu sudah terlanjur terbuka, aku minta kau untuk menutupnya."
Jisung berdiri dari kursinya, kedua tangannya terkepal dan bertumpu di atas meja. "Tidak bisa. Bahkan jika kau terus memohon aku tidak akan melakukannya, aku yang memiliki kehendak atas hatiku."
"AKU TIDAK INGIN KAU MENYUKAIKU KARENA TERPAKSA!"
Terdiam, itu yang Jisung lakukan. Namun, bukan karena terkejut akan teriakan Chenle, melainkan inilah kali pertama Chenle tampak retak. Lelaki itu menatap Jisung dengan nanar penuh dengan kesedihan untuk pertama kalinya sejak kepergian Mama Zhong. Bahkan ketika mengumumkan kondisinya Chenle masih bisa mengupayakan sebuah senyum untuk menghibur semuanya, sangat berbeda dengan sekarang.
"Jika kau menyukaiku karena merasa bahwa itu merupakan sebuah keharusan, aku tidak bisa menerimanya. Lagipula, waktuku tiba sebentar lagi. Ketika aku pergi nanti, bagaimana? Jisung-ah, kau akan menderita nantinya, maka dari itu jangan, hm?"
"Siapa bilang aku terpaksa?"
Chenle terkekeh pelan. "Jisung, ja--"
"Lihat aku Chenle. Kau mengenalku belasan tahun, kau tahu kapan aku serius dan kapan aku tidak."
Chenle tidak ingin melihat kedua manik Jisung. Dia tidak bisa. Jika Jisung serius akan perkataannya, Chenle tidak dapat menghindari rasa bersalah dan jika Jisung tidak serius, dia akan menerima rasa sakit.
"Bekalmu aku letakkan di sini, oke?" Chenle menghampiri meja tamu dan meletakkan kotak bekal di tangannya di atas salah satu sofa. "Aku pergi."
Melihat suaminya berbalik dan hendak meninggalkannya, Jisung dengan sigap berjalan cepat dan menahan Chenle sebelum lelaki itu menggapai pintu.
"Chenle-ya."
Matanya Chenle pejamkan begitu dia berhadapan dengan Jisung. Kepalanya menggeleng kecil. "Aku ingin pulang saja." Lirihnya.
"Lihat aku, Chenle."
"Tidak bisa. Baik kau serius atau tidak, aku tidak bisa. Ini menakutkan, Jisung." Ujung bajunya Chenle remas dan dia menunduk.
"Aku ingat apa yang kau katakan malam itu, di kedai tenda." Tangan Jisung menggapai punggung Chenle dan perlahan-lahan mendorong lelaki itu ke dekapannya. "Aku juga ingat apa yang aku katakan. Tiga botol soju kutenggak dan anehnya aku mengingat semuanya dengan baik." Jisung meletakkan dagunya di bahu Chenle. "Aku ingat senyum pahit yang kau ulas saat itu, membuatku sesak setiap kali mengingatnya. Jika semua perkataan dan senyum pahit itu tercipta karena kau berpikir aku terpaksa, maka kau salah. Jika kau takut karena berpikir bahwa aku akan kesulitan nantinya ketika kau... tidak ada, maka tidak perlu dipikirkan. Itu adalah urusanku, bukan sesuatu yang harus kau pikirkan."
Suara Jisung bergetar ketika mengatakan ketiadaan Chenle dan Chenle mendengarnya. Kepalanya Chenle benamkan di bahu Jisung. "Jisung-ah, jangan ambil keputusan yang berisiko."
"Apa risikonya? Bagiku tidak ada." Jisung mengusap punggung Chenle dengan lembut. "Karena itu, jangan pusingkan tentang itu, mengerti? Kau terima saja semua cinta dan kasih sayangku."
Hening untuk waktu yang begitu singkat tercipta sebelum dipecahkan oleh kekehan Chenle. "Ish, menggelikan. Ughh." Chenle menggeleng-geleng kecil intuk mengusir rasa menggelitik yang merayap di tubuhnya.
"Y-yak." Jisung meremas baju Chenle. "Kau benar. Uggh, aku harus mencuci mulutku setelah ini."
"Cuci mulut saja tidak cukup, kau harus menggosoknya hahahaha! Kenapa kau bisa mengeluarkan kata-kata semenggelikan itu?" Tubuh Chenle bergidik geli.
"Sudah, sudah! Jangan dibahas. Intinya, aku tidak akan berhenti menyukaimu, oke?! Nah, sekarang ayo makan. Kau pasti belum makan siang." Jisung melepaskan pelukannya dan mengusap kepala Chenle. "Tidak ada penolakan, tidak ada pembicaraan terkait perasaan, dan tentu saja tidak boleh ada candaan tentang... kepergian."
Jisung sudah melarang dan Chenle juga tidak lagi memiliki keinginan untuk membicarakan hal-hal serius, suasananya sudah menjadi lebih nyaman, Chenle tidak ingin merusaknya.
"Pasti kau membuat telur gulung dan sup kerang."
"Kau tahu aku."
Jisung terkekeh. "Ya, aku tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rein [JiChen | ChenJi] ✓
Fanfiction✨ A Story By Z ✨ [Project no.2] Apa itu hidup, ketika kau bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi besok? Semakin lemah hatiku, semakin kuat toleransiku Aku tahu kau benci bahwa aku seperti ini, tapi tolong mengertilah Apa itu hidup, ketika halaman t...