▫️chap 9

854 116 4
                                    

I'm doing okay

▫️

"Hyuuuunggg!"

Chenle yang melihat adiknya berlari ke arahnya dengan tangan terbuka dengan sigap menangkap pelukan hangat penuh antusias dari lelaki yang beberapa senti lebih tinggi darinya itu. "Hyon-ie~"

"Hyung menginap kan? Bantu aku mengerjakan tugas ya? Ah! Ji Hyung, Hyung bawa bukunya bukan? Aku benar-benar perlu." Lelaki itu beralih kepada Jisung yang berdiri di belakang Chenle. Yang ditanya pun menunjukkan buku yang dia sembunyikan di belakang punggungnya dan menyerahkannya kepada adik iparnya. "Kerjakan dengan benar, Zhong Dohyon. Juga, lain kali jika meminta sesuatu jangan mendadak."

"Hehe, terima kasih." Masih sembari memeluk kakaknya, Dohyon mengambil buku yang Jisung berikan kepadanya. "Kalian menginap ya kan?"

"Sayangnya tidak." Chenle mengusap punggung adiknya penuh dengan sayang. Ini bisa jadi kali terakhirnya membelai lembut adik tersayangnya. Seharusnya dia lebih sering berkunjung...

Jisung yang paham atas apa yang mungkin sedang Chenle rasakan merangkul suaminya dan menggeleng kepada Dohyon. "Kami harus pulang sebelum makan malam. Sekarang, di mana yang lain? Ayah dan ibuku sudah tiba bukan?"

Dohyon melepas pelukannya dan Chenle seraya mengangguk. "Hm! Semuanya ada di ruang santai." Lelaki itu kemudian berjalan mendahului kedua kakaknya. Sementara Chenle yang masih terpaku di posisinya memandang punggung tegap adiknya yang semakin menjauh dengan sendu.

"Biar aku yang--"

"Tidak. Ini harus keluar dari mulutku sendiri." Chenle menolak. Nafasnya dia tarik dalam-dalam sebelum melukiskan sebuah senyum. "Ayo."

Sudah berkali-kali Chenle membayangkan bagaimana dia akan mengatakan kabar kondisinya kepada keluarganya, tapi dia masih saja sulit untuk memulainya. Berkali-kali Jisung ingin membantu, tapi berkali-kali pula Chenle menahannya. Chenle ingin melakukannya sendiri, dia harus bisa melakukannya sendiri. Ketika suasana tidak seramai sebelumnya, Chenle mengumpulkan keberaniannya dan membuka mulutnya.

"Semuanya..."

Semua pasang mata kini terarah kepadanya dan pada saat itulah Chenle mendapatkan dorongan besar dalam dirinya.

"Aku tidak memiliki banyak waktu."

▫️

"Auh, aku merasa sangat bersalah kepada semuanya." Chenle menyeka air matanya seraya menatap langit hitam yang menaungi dia dan Jisung yang berjalan perlahan. Reaksi keluarganya sedikit melebihi ekspektasi. Ibu Jisung kehilangan kesadaran dan Dohyon menangis hingga asmanya kambuh. Chenle pikir ya, mereka akan menangis, tapi tidak hingga seperti itu. Dohyon bahkan melarangnya pulang, tapi yang Chenle takutkan adalah ketika sakitnya kambuh dia akan membuat seisi keluarga ketakutan.

"Jika merasa bersalah maka lakukan pengobatan."

Chenle mengusap hidungnya sekilas dengan ibu jarinya. "Aigoo, lama tidak mendengar kata itu."

Plak!

"AK! YAK!"

"Jangan memaksa, Park Jisung-ssi."

"Tidak perlu memukul, Zhong Chenle-ssi."

Chenle terkekeh, tangannya mengusap punggung Jisung yang dia pukul. "Terlalu keras ya? Maaf, hehe." Pandangannya kembali terarah ke depan dan matanya menangkap tenda yang diisi beberapa orang, tenda yang mengeluarkan wangi yang lezat.

Tangan Chenle menepuk-nepuk Jisung penuh antusiasme dan menunjuk tenda yang tidak begitu jauh dari mereka. "Jisung-ah, ayo minum."

"Kau ingin membuat perutmu itu seperti apa, huh?"

"Aku minum air mineral. Ayo, ayo, kata papa sup kerang di sana lezat." Jisung tidak kunjung bergerak, tapi itu bukanlah masalah besar, Chenle menarik pria itu agar ikut dengannya.

"Ahjumma, soju, air mineral, sup kerang, dan sup telur masing-masing satu." Chenle berucap seraya menarik kursi untuknya. Sementara Jisung masih berdiri memandangi Chenle yang tersenyum.

Chenle menepuk sisi meja di depannya. "Sedang apa kau? Duduklah."

"Sup kerang dan sup telur? Perutmu sanggup?"

Chenle terdiam sesaat sebelum kembali membuka mulutnya. "Ahjumma! Tambah gopchang!"

"Yak, Chenle-ya."

"Aku yang bayar." Chenle menepuk dadanya seraya terkekeh. "Kau minum dan makan saja."

Mata Jisung melotot mendengar jawaban santai suaminya. "Perutmu bisa meledak."

"Kita makan bersama, pelan-pelan, nanti juga habis.'

Jisung begitu skeptis tentang ide ini, tapi Chenle memahami pria ini lebih dari pria ini memahami dirinya sendiri jika dia boleh menyombongkan diri. Dia tahu setelah seteguk dua teguk, Jisung akan terlarut dalam suasana dan sekarang sudah tiga botol yang pria itu tenggak.

"Kkhhh..." Jisung mengernyit. "Malam ini rasanya manis."

Chenle menyuap satu potong daging dan menopang dagunya di atas meja. "Hm? Apa ada sesuatu?"

Jisung memandang Chenle dengan matanya yang dia paksa untuk terbuka, telunjuknya menuding Chenle. "Kau. Kau sesuatunya."

Jisung sudah nyaris kehilangan kendali atas kesadarannya. Chenle tidak akan menyalahkan suaminya, menenggak tiga botol alkohol memang akan mengantarkanmu ke ketidaksadaran, itu normal.

Telunjuk Chenle menuding dirinya sendiri. "Aku? Aku kenapa?"

"Kau mengacak-acak sistem berpikirku." Jisung menyentuh kepalanya dengan kedua tangannya. Chenle yang merasa itu menggemaskan terkekeh dan memajukan tubuhnya untuk mencubit pipi Jisung.

"Chenle-ya, aku bilang kepadamu bukan, aku akan berusaha? Aku... aku sudah berusaha." Jisung bertepuk tangan sekali. "Sepertinya aku berhasil. Aku-- hik," Ucapannya terpotong oleh cegukan. "Aku tidak tahu kapan, tapi jantungku berpacu seperti kuda gila jika berdekatan denganmu, waah, seandainya kau bisa mendengarnya." Pria itu tersenyum lebar seraya menepuk dadanya dengan bangga. Namun senyum itu tiba-tiba saja surut, tergantikan oleh wajah sedih yang memilukan. Matanya berkaca-kaca dan gerakkan dadanya sedikit tidak terkontrol, nafasnya tidak beraturan.

"Tapi... t-tapi kau akan pergi." Jisung menyeka matanya yang basah. Pria itu kini menangis seperti anak kecil yang tersesat. Sementara Chenle menghela nafasnya dan tersenyum pahit.

"Baru saja aku akan mengatakan kepadamu bahwa kau tidak perlu bersusah payah berusaha..." Chenle mengusap wajahnya. "Jisung-ah, aku harap kau bisa mengingat ini ketika kau sadar nanti. Kau jangan menyukaiku. Kau dengar? Jangan menyukaiku."

Jisung yang terisak kecil memandang Chenle untuk beberapa saat dalam diam. Kemudian pria itu menggeleng. "Bagaimana bisa?"

"Jangan membuka hatimu untukku. Jika kau menyukaiku kemudian aku pergi... itu akan sangat merepotkan untukmu." Chenle mengibaskan tangannya, kekehan canggung dia keluarkan sebagai usaha untuk mengusir suasana yang perlahan-lahan menjadi muram. "Jadi, jangan menyukaiku, jangan mencobanya, mengerti? Eish, kau mabuk, pasti tidak akan ingat." Lelaki itu merutuk pelan di akhir.

Sungguh, dunia tidak perlu memihaknya sampai seperti ini. Chenle sudah sangat puas dengan apa yang dia miliki sebelum ini-- oke, itu terdengar munafik. Ya, dia memang menginginkan Jisung untuk menyukainya, tapi waktunya--... tidakkah jika Jisung benar-benar menyukainya itu hanya akan membebani suaminya?





Rein [JiChen | ChenJi] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang