❤️‍🩹

956 112 3
                                    

⚠️ mention of suicide secara tersirat ⚠️










"Ji Hyung?"

Merasa dipanggil, Jisung pun menoleh dan tersenyum. Senyum yang begitu apa adanya, tidak ada kesenangan ataupun kesedihan di dalamnya, begitu hampa. Persis dengan yang dirasakannya.

"Ada apa, Dohyon-ah?" Suara Jisung parau, mungkin karena sudah tidak lama berbicara kepada siapapun bahkan sejak dia bertemu dengan keluarga dua pihak.

"Makanan Hyung..."

Jisung melirik piringnya. Daging steak yang ada di piringnya berbentuk acak sekarang. Pisau dan garpu yang ada di tangannya Jisung lepas dan Jisung mengedarkan pandangannya kepada yang lain. Kedua orang tuanya, ayah Chenle, dan Dohyon menatapnya dengan cemas.

Ini adalah kali pertama Jisung keluar dari vila, bertemu kembali dengan keluarganya di rumah keluarga Chenle setelah satu minggu mendekam tanpa satu orang pun di sisinya. Semuanya berpikir bahwa makan malam keluarga akan jadi awal yang bagus, tapi mungkin mereka salah.

"Uh... um, maaf." Jisung meletakkan serbetnya di atas meja dan berdiri untuk melangkah pergi.

Hanya ada kekosongan, itu yang Jisung rasakan. Tidak peduli dia dikelilingi oleh banyak orang di meja makan ini, Jisung tidak merasa dikelilingi oleh siapapun.

Dadanya dipenuhi oleh sesak yang seperti tidak akan berakhir. Pikirannya kosong, sesuatu yang Jisung secara tidak sadar biasakan. Kesadaran selalu memancing kesedihan, jadi Jisung merasa lebih baik untuk bersembunyi di balik kekosongan.

Namun, malam ini kekosongan itu Jisung datangkan atas keinginannya. Dia tidak bisa memikirkan apa pun atau dia akan menangis dan membuat yang lain khawatir.

"Nak,"

Jisung menoleh. Ayah Chenle berdiri di belakangnya dan saat itulah Jisung sadar ke mana dirinya melangkah.

"Papa... a-aku..."

"Aku dan istriku senang menghabiskan waktu di ruang makan pada tengah malam. Ketika istriku meninggalkanku, aku juga sering secara tidak sadar pergi ke ruang makan pada tengah malam. Hanya duduk termenung, mulanya selalu menangis, tapi seiring waktu berjalan air mataku seolah habis." Ayah Chenle mengendikkan bahunya. "Sulit memang, terutama ketika kau menghabiskan separuh hidupmu bersamanya."

Jisung menoleh ke depan, memandangi kamar Chenle. Memang kosong, tapi kamar ini menyimpan memorinya bersama Chenle, sejak bangku menengah pertama hingga sebelum menikah. Belasan tahun terekam oleh kamar ini. Jisung bisa "melihat" Chenle duduk di pinggir ranjang, mengejeknya yang kehilangan uang jajan seminggunya. Kemudian saat Chenle bermain game bersamanya, membaca bersamanya, mengerjakan tugas, menangis, menahan tangis di kala hujan turun, berkabung, dan banyak sekali momen yang tidak bisa Jisung jabarkan satu persatu.

"Tidak ada cara yang salah untuk memproses rasa kehilangan. Kau bisa ke sini, ke rumah ini, ke kamar Chenle untuk mengulang memori sebanyak yang kau inginkan. Kau bisa kembali ke vila dan menetap selama yang kau perlukan atau pulang ke rumah kalian dan meresapi semua yang ada di sana. Semua terserah kepadamu dan tidak ada yang salah." Ayah Chenle mendekati menantunya dan memberikan usapan tegar di bahu Jisung. "Hanya satu yang perlu kau ingat. Kami ada di sini menunggumu."

Kekosongan Jisung didesak oleh kesedihan yang luar biasa, tapi dia berusaha untuk menekannya sekuat yang dia bisa. Dengan kedua matanya yang berkaca-kaca Jisung memandang ayah Chenle dan berusaha untuk mengeluarkan suaranya.

"Ba-- bagaimana Papa... menahan semua pilu... penyesalan..."

"Tidak bisa." Ayah Chenle menggeleng. "Kau tidak bisa menahannya. Kau hanya bisa membiarkan semua itu menggerogotimu hingga tetes air mata terakhir. Sangat menyiksa memang, tapi kau akan menemukan jalan keluarnya di saat hatimu sudah berdamai dengan semuanya."

"Bagaimana jika... j-jika aku--" Jisung tidak bisa melanjutkan kata-katanya, tapi ayah Chenle yang paham mengangguk kecil.

"Tentu saja pemikiran kau ingin menyusulnya akan terpikirkan. Aku juga berpikir seperti itu selama dua minggu pertama kehilangan istriku. Namun, Jisung-ah, sebuah pemikiran datang kepadaku. Maut yang direncanakan Tuhan, takdir, atau apa pun yang kau percayai, jika dibandingkan dengan maut yang diciptakan manusia tidak setara, keduanya berbeda. Bagaimana jika aku menciptakan maut untukku sendiri dan itu malah membuatku berpisah dengan istriku? Maksudku, aku yang merencanakan mautku sementara istriku pergi karena rencana Tuhan, takdir, dunia... ciptaan manusia tidak ada yang sempurna, karena itulah aku mencari jalan keluar dari pemikiran itu. Akan selalu ada jalan bagi yang tidak menyerah."

Satu tarikan nafas...

Dua tarikan nafas...

Tiga--

"Aku..." Jisung menggeleng. Dia sudah tidak sanggup lagi menekan kesedihannya. Nafasnya tersengal dan air matanya mengalir, Jisung tidak lagi bisa mengontrol emosinya baik secara sadar maupun tidak.

"Tidak apa." Sebuah pelukan hangat ayah Chenle berikan untuk menantunya. "Keluarkan semua yang ada. Ini akan terjadi lagi dan yang bisa kau lakukan adalah membiarkan semuanya hingga hatimu merasa cukup untuk saat itu. Itu akan berulang lagi dan lagi hingga hatimu pada akhirnya merasa cukup untuk yang terakhir kalinya dan berdamai dengan keadaan."

Hanya luapan berbagai emosi buruk yang Jisung bisa rasakan sekarang. Dia hanya bisa membiarkan raungan tangisnya menggema di kamar Chenle dan membiarkan pelukan mertuanya membungkusnya.

Mungkin besok sesuatu yang lebih melegakan akan Jisung rasakan. Untuk sekarang, Jisung hanya akan membiarkan dirinya tenggelam dalam ombak ini.





Rein [JiChen | ChenJi] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang