Perasaan aneh terhadap Kakak sendiri

17 6 0
                                    

"Len tolong antarkan minuman ini ke meja nomor 18!" ucap salah satu pelayan senior di tempatku bekerja.

Akupun segera meletakkan kain lap yang tadi aku gunakan untuk membersihkan meja.

"Mana Mbak."

Mbak Nani, biasa kami memanggilnya langsung mengangsurkan sebuah baki yang di atasnya sudah ada beberapa aneka minuman pesanan pengunjung cafe.

"Hati - hati membawanya jangan sampai jatuh. Nanti kalo ada tamu yang pesan lagi, langsung saja kamu catat semua pesanannya dan jangan sampai salah," pesan Mbak Nani kepada ku.

Aku pun langsung mengangguk. "Iya Mbak!"

"Sudah sana antarkan minumannya!"

Karena belum terbiasa membawa pesanan tamu dalam jumlah banyak akupun berjalan pelan dan sangat hati - hati karena takut terjatuh.

Seorang pegawai magang sepertiku tentu saja sangat ketakutan untuk melakukan kesalahan. Karena peraturan di cafe tempat ku bekerja selama dua bulan terakhir ini menerapkan aturan yang sangat ketat kepada pegawai yang melanggar peraturan ataupun yang membuat kesalahan dengan ancaman potong gaji.

Apalagi gaji yang ku terima masih belum sebesar gaji yang didapatkan para senior - seniorku. Karena masih di bawah upah minimum dan sedikit tambahan dari bonus pelayanan atau service.

Namun aku selalu bersyukur atas semua yang sudah aku dapatkan karena ini adalah bentuk pencapaian terbesarku setelah aku keluar dari rumah untuk hidup mandiri. Meskipun aku juga mendapatkan bantuan finansial dari kedua orang tuaku.

Karena sejatinya mereka tidak menyetujui keputusan ku untuk meninggalkan rumah dan kos sendirian jauh dari keluarga. Butuh waktu untuk meyakinkan mereka terutama Ayahku yang memang sangat keras dalam mendidik kami anak - anaknya.

Dengan janji aku akan semakin meningkatkan prestasi ku di bidang akademik akhirnya aku berhasil mendapatkan izin dari Ayah untuk bisa hidup mandiri dan menyewa sebuah tempat kos.

Aku yang pada dasarnya sudah muak dengan keadaan keluarga sama sekali tidak menghiraukan celaan dan cibiran Nenek yang sebenarnya juga sangat menentang keputusan ku ini. Tetapi aku tidak peduli karena izin dari Ayah sudah lebih dari cukup untuk ku.

Untung saja ada Mas Alfian yang selalu ada untuk mendukung ku. Bahkan dia juga yang membantuku untuk mencari tempat kos yang nyaman. Bahkan tak jarang juga Mas Alfian lah yang secara sembunyi - sembunyi mengantarkan uang dari Nenek yang diberikan untukku. Terkadang aku berpikir, Nenek tidak seburuk yang aku kira karena beliau masih sering mengingat ku dan memberikan uang saku untuk ku melalui Mas Alfian.

Walau terkadang tak jarang pula Nenek melampiaskan kebenciannya kepadaku jika Nenek sudah tidak memiliki cela untuk membully Ibu. Bahkan aku seakan dijadikan pembantu oleh Nenek untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah. Sedangkan Kak Alya selalu menjadi Tuan putrinya.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam saat aku dan pegawai cafe lain keluar untuk pulang menuju ke rumah masing - masing.

Aku sudah akan menghubungi ojek online jika saja ekor mataku tidak menangkap bayangan seseorang yang sangat aku kenal.

"Mas Alfian!" pekikku girang saat melihat Kakak laki - lakiku sudah duduk di atas jok motornya untuk menungguku.

"Baru keluar Dek?" tanya Mas Alfian kemudian mengulurkan sebuah helm kepadaku.

"Iya Mas, tadi ada brifing dulu dari si bos. Makanya agak telat," jawabku sembari menerima uluran helm dari Kakak tertuaku itu.

"Ya udah, ayo cepet naik!" seru Mas Alfian setelah berhasil menghidupkan mesin motornya.

Aku yang memang sudah didera rasa kantuk pun segera naik ke atas boncengan motor Kakakku dan melingkarkan kedua lenganku di pinggangnya agar bisa memeluknya dengan erat. Hingga rasanya kedua bukit kembarku menempel lekat di punggungnya.

Apa yang aku lakukan sekarang adalah hal yang wajar bagi kami. Bahkan kami juga sering tidur dalam ranjang yang sama. Namun masih dalam batas - batas yang bisa kami jaga.

Walaupun kadang kami melakukan kontak fisik secara berlebihan. Tetapi kami tidak melupakan status kami yang masih saudara. Meskipun berbeda Ibu.

Tidak munafik, aku memang sangat menikmati semua perlakuan Mas Alfian kepadaku. Apalagi sentuhan - sentuhan yang kerap tidak sengaja ia lakukan kepadaku.

Pernah suatu malam Mas Alfian yang memang sedang menginap di tempat kosku tidak sengaja meraba - raba areal dadaku dan aku membiarkannya. Hingga akhirnya dia tersadar dan meminta maaf kepadaku dengan perasaan yang penuh rasa bersalah.

Tentu saja aku langsung memaafkannya karena tidak dipungkiri aku juga sangat menikmatinya. Dan bodohnya aku malah memberikan akses kepada Kakak lelakiku itu untuk semakin leluasa menjamah tubuhku.

Rasa nyaman yang ditawarkan Mas Alfian kepadaku sering membuatku lupa diri. Hingga sering kali aku menganggap Mas Alfian adalah kekasih ku sendiri. Mungkin itulah aku selalu menutup hati kepada para pemuda yang ingin mendekat kepadaku. Karena tanpa aku sadari aku memiliki perasaan lebih kepada Kakak lelakiku ini.

Aku semakin mengeratkan pelukanku di perut Mas Alfian dan menempelkan pipiku di punggung lebarnya untuk menghalau rasa dingin yang semakin lama semakin terasa menusuk kulit.

"Dingin Mas!" aduhku manja.

"Sabar sebentar ya, sampai di kosan nanti kamu bisa peluk Mas sepuasnya."

"Beneran?"

"Iya donk!"

Hanya membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit untuk berkendara, motor yang dikendarai oleh Mas Alfian pun sudah berhenti di depan pintu gerbang kosan putri di mana aku tinggal.

"Bentar Mas, aku buka dulu gerbangnya."

Aku segera turun dari motor dan mendorong kuat pintu gerbang yang terbuat dari besi itu agar Kakak ku bisa memasukkan motornya.

Aku segera merogoh tas selempang yang sedang aku gunakan untuk mencari kunci kamar yang terselip di antara barang - barang milikku yang lain.

Ceklek ... ceklek.

Terdengar suara kunci diputar dua kali dan terbuka lah pintu kamar kosku.

"Masuk Mas!"

Setelah mempersilahkan Kakak ku masuk ke dalam kamar akupun meminta izin kepada untuk membersihkan diri sebentar.

Kamar kosku sudah dilengkapi dengan kamar mandi di dalam sehingga aku tidak perlu lagi untuk keluar jika aku ingin membersihkan diri atau melakukan aktivitas lain di dalam kamar mandi. Di sebelah kamar mandi ada sebuah dapur kecil yang biasa aku gunakan untuk memasak mie instan atau hanya menggoreng sosis.

Aku keluar dari kamar mandi dengan kondisi tubuh yang lebih segar. Bersamaan dengan itu juga aku melihat Mas Alfian baru selesai membuat dua porsi mie instan untuk makan malam kami.

"Hemm, wangi banget aromanya. Bikin orang tambah lapar aja!" ucapku sembari membuat gerakan seperti mengendus makanan.

"Sudah sana cepat ganti baju biar segera bisa makan. Nanti keburu dingin mie-nya Dek!" seru Mas Alfian saat melihat ku masih menggunakan sehelai handuk untuk menutupi tubuh telanjangku.

"Awas jangan ngintip ya!"

"Udah sering lihat Dek. Meskipun belum pernah merasakan."

"Idih, masa adek sendiri mau diembat juga."

"Ya kalo adeknya ngegemesin kayak gini, Mas bisa apa?"

"Dasar!"

Akhirnya malam ini aku habiskan dengan melepaskan rindu bersama Mas Alfian yang hanya bisa datang menjengukku setiap seminggu sekali jika weekend tiba dan dia juga libur dari rutinitasnya yang banyak dihabiskan di kampus.


Hijrah Cinta Si Gadis NakalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang