Bertengkar dengan Nenek dan Kakak

9 5 0
                                    

"Maksud Nenek apa?"

Aku yang awalnya datang untuk melihat Nenek karena sudah lama kami tidak bertemu akhirnya terpancing emosi juga.

"Jadi anak gadis itu mbok ya sing kalem. Ojo seneng metu soko omah penak e dewe ae. Cah wedok koyo opo ngunu kuwi." (Jangan suka pergi dari rumah dengan seenaknya sendiri. Gadis macam apa kalau seperti itu).

"Nek, Alen ngekos di luar juga atas izin Ayah. Bukankah kalian sendiri yang mendorong Alen agar bisa masuk SMA favorit seperti Kak Alya. Lagipula selain bisa belajar hidup mandiri kosan Alen itu juga dekat dengan sekolah."

"Itu cuma alasan dan akal - akalanmu saja. Buktinya Alya bisa tanpa harus keluar dari rumah ini. Mandiri? Mandiri apa kalo masih nadah uang dari orang tua."

Aku berusaha menahan emosi agar tidak terpancing mendengar ucapan Nenek dengan mencengkeram kuat tanganku sendiri.

"Tapi setidaknya Alen masih punya penghasilan sendiri. Jadi tidak semuanya pengeluaran Alen ditanggung oleh Ayah."

"Dengan bekerja di tempat orang - orang nakal itu?"

"Maaf Nek, Alen bekerja di cafe bukan di tempat orang nakal seperti yang Nenek pikirkan tadi."

"Ya terserah kau saja. Anak muda sekarang mana bisa dinasehati orang tua. Memang hanya Alya cucuku yang benar dan membanggakan!"

Nenek segera beranjak berdiri dan pergi masuk ke dalam kamarnya.

Ini hal yang paling tidak aku sukai jika sudah bertemu dengan Nenek. Karena sudah bisa dipastikan pertengkaran kami tidak dapat dihindari lagi. Bahkan aku belum sempat salim kepada Nenek  sebagai rasa hormatku.

Sebenarnya aku juga tidak ingin menjadi cucu durhaka. Akan tetapi semua ucapan yang keluar dari mulut Nenek selalu bisa membuat telingaku terasa panas.

Karena Nenek sudah masuk ke dalam kamarnya, akupun kembali ke rumah orang tuaku sendiri.

Waktu sudah beranjak sore saat aku berkeinginan untuk membantu Nenek menyapu lantai rumahnya. Setelah menyelesaikan pekerjaanku untuk membersihkan rumah kedua orang tuaku. Aku pun beralih ke rumah Nenek.

Aku sedang tekun mengepel saat aku menyadari ada sepasang sepatu yang berada di depanku. Perlahan aku mengangkat wajah untuk melihat siapa pemilik sepatu tersebut.

"Kak Alya? Sudah pulang Kak?"

"Sejak kapan kau di sini, Len?"

Gadis yang biasa aku panggil dengan sebutan Kakak itu bukannya menjawab pertanyaan ku ia malah bertanya balik kepadaku. Namun hal tersebut bukanlah masalah besar bagiku sehingga aku langsung menjawab pertanyaannya.

"Dari tadi siang Kak. Baru pulang?"

"Iya!" jawabnya acuh kemudian masuk ke dalam kamarnya yang terdapat di rumah Nenek.

Karena memang Mas Alfian dan juga Kak Alya sudah ikut Nenek sejak mereka kecil. Apalagi Ibu kandung Kak Alya juga meninggal sewaktu melahirkan Kak Alya.

Setelah 15 menit Kak Alya masuk ke dalam kamarnya, aku mendengar suaranya berteriak memanggil.

"Len ... Alen, ke sini sebentar Len!"

Karena merasa namaku yang dipanggil aku pun segera berlari ke arah kamar Kak Alya karena takut terjadi sesuatu kepada Kakak perempuan ku itu.

"Iya, ada apa Kak?" tanyaku saat aku sudah menyeruak masuk ke dalam kamar bernuansa pink itu.

"Nih ambil buat kamu. Aku lihat bajumu kok itu - itu mulu. Jadi anak muda yang modis dikit kenapa sih. Malu - maluin keluarga aja!" ucap Kak Alya sembari melemparkan dua potong baju tepat ke depan wajahku.

Aku memang tidak semodis Kak Alya dalam berpenampilan karena sebenarnya aku sedikit tomboy dan cuek. Aku selalu memakai pakaian yang membuatku nyaman meskipun pakaian tersebut tidak sedang trend di kalangan anak muda. Tetapi menurutku selama baju yang aku pakai sopan dan tidak mengumbar aurat kenapa tidak.

"Nggak perlu Kak, aku masih punya koleksi baju yang layak aku pakai," tolakku terang - terangan karena aku sudah lelah terus direndahkan.

Jika memang Kak Alya berniat memberikannya kepadaku seharusnya ia memberikannya dengan cara baik - baik tanpa harus melemparkan seperti tadi. Aku ini adiknya bukan pengemis yang harus selalu direndahkan seperti itu. Bahkan kepada pengemis saja kita harus tetap sopan saat memberikan sesuatu.

Aku tidak habis pikir dengan perangai Kakak perempuan ku ini. Katanya berpendidikan tinggi dan juga calon dokter tapi kenapa kelakuannya tidak mencerminkan bahwa dirinya adalah wanita yang berpendidikan?

"Belagu banget sih jadi orang! Sudah bagus aku mau memberimu baju. Apa karena kau sudah bekerja jadi mentang - mentang. Berapa sih gajimu sebulan? Paling juga tidak sebanyak uang bulanan yang diberikan Ayah. Makanya jadi anak kecil itu yang tahu diri, bukannya belajar yang bener malah sok - sok'an kerja. Mending gajinya bisa nutupin semua kebutuhan hidup. Buat jajan sendiri aja masih nombok. Capek - capein diri sendiri aja sih. Kalo aku sih ogah!" cerca Kak Alya yang membuat telingaku semakin panas.

Ingin aku mengabaikan dan tidak ingin mendengarnya. Namun ternyata aku tidak bisa karena kata - kata yang keluar dari mulut Kak Alya benar - benar menyakitkan untukku.

"Maaf Kak, aku menolak bukan berarti aku belagu. Lagi pula selera kita dalam berbusana jauh berbeda. Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti Kakak karena aku sudah pasti tidak merasa nyaman. Meskipun pakaian ku tidak modis tapi aku senang memakainya."

"Bilang saja kau takut kalah saing denganku. Sudah pendidikan minus, berpenampilan pun minus juga. Miris!"

"Sekali lagi maaf ya Kak, yang Kakak bilang minus dalam pendidikan tadi sampai hari ini masih bisa menjuarai kelas dan lomba - lomba yang diselenggarakan di sekolah. Mungkin aku tidak unggul di bidang yang Kakak geluti tapi aku tetap unggul di bidang yang aku geluti sendiri. Dan yang penting aku merasa nyaman melakukan apa yang aku inginkan."

"Dasar kau anak kecil, pandai sekali kau bicara!"

"Bukan aku pandai bicara Kak. Tapi aku mengatakan yang sebenarnya."

"Ada apa sih ribut - ribut?" sentak Nenek yang baru muncul dari balik pintu.

Rupanya perdebatanku dengan Kak Alya terdengar sampai ke telinga Nenek.

"Ini loh Nek, Alen nolak pas aku kasih baju. Sombong sekali dia semenjak sudah bisa kerja sendiri. Padahal dulu juga sering dapat barang - barang bekas dari aku!" aduh Kak Alya kepada Nenek.

Sudah dipastikan setelah ini aku pasti akan mendapat serangan dari berbagai arah. Karena Nenek akan lebih berpihak kepada Kak Alya sebagai cucu kandung kesayangannya dari pada aku yang hanya cucu tiri. Tapi aku tidak akan gentar menghadapi mereka selama aku tidak bersalah.

"Benar itu Alen?!"

"Maaf Nek dan Kak Alya kalo Kakak sudah merasa tersinggung dengan penolakan ku tadi tapi aku benar - benar belum membutuhkan pakaian itu!" tegasku tanpa ragu sedikitpun.

"Ternyata benar hidup di luar tanpa mengawasan keluarga membuat sikapmu menjadi liar dan semakin ngelunjak. Apa kami pernah mengajarimu untuk tidak memiliki sopan santun kepada orang yang lebih tua?"

"Nek ini tidak ada hubungannya dengan sopan santun. Lagi pula kalo aku dituntut untuk menghormati yang lebih tua kenapa yang lebih tua tidak berusaha untuk menghargai yang lebih muda?"

"Kau ini benar - benar pandai bicara ya. Sangat tidak jauh dari Ibumu!"

"Maaf Nek jangan bawa - bawa Ibu dalam urusan kita sekarang."

"Sudah Al kamu ikut saja ke kamar Nenek. Percuma bicara dengan anak yang tidak bisa diatur dan diajarkan kebaikan!"

Aku memejamkan kedua mataku dengan mengepalkan tangan erat setelah kepergian Nenek dan Kak Alya. Sebelum kemudian akupun ikut meninggalkan kamar Kakak ku itu dari pada aku nanti dituduh yang macam - macam.

Hijrah Cinta Si Gadis NakalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang