22. Es Krim Satu Ember

70 7 0
                                    

Pram baru saja turun dari kamarnya. Layaknya keluarga normal, orang tua juga kakak laki-lakinya sudah duduk manis di meja makan dengan pakaian kerja masing-masing. Sejujurnya Pram tidak suka sarapan di rumah. Lebih tepatnya, ia selalu berusaha menghindari meja makan. Tapi salahnya karena bangun kepagian hari ini sehingga mau tidak mau ia harus ikut menempati salah satu kursi di meja paling menyebalkan sedunia itu.

Pram duduk di bangkunya, di sebelah Yolan—satu-satunya saudara yang ia miliki dan tidak akrab.

Satu lembar roti tawar baru saja menyentuh permukaan piringnya, tapi sebuah suara berat segera merusak mood buruk yang susah payah ia jinakkan sejak pantatnya menyentuh permukaan kursi.

"Gimana kuliah kamu Pram?" Begitu bunyi pertanyaan paling basa-basi menurut Pram. Dan pertanyaan itu diajukan oleh pria yang paling ahli menguji kesabarannya.

Pram menghela nafas samar, mencomot selai cokelat di tengah meja, tidak punya selera membalas pertanyaan pria yang duduk di hadapannya itu.

"Nggak bener lagi? Masuk kelas cuma buat absen lagi?" Pria berjas itu kembali bersuara sambil membalik halaman koran. Selain suka menguji kesabaran, pria itu juga orang paling tidak sopan bagi Pram. Suka mengajak orang bicara tanpa menatap orang yang diajak bicara. Karena itu, Pram juga berhak tidak merespon ucapannya. Memangnya orang lain akan senang diperlakukan seperti itu? Kalaupun ada, mungkin lebih banyak tidak. Dan Pram termasuk di bagian mayoritas.

"Dulu merengek-rengek nggak mau masuk jurusan bisnis, pake ngomongin soal tujuan hidup segala, sok paling mengerti soal hidup," lanjut Pria itu pedas, beranjak ke halaman koran berikutnya. "Saat udah Papa turutin, mana? Nggak ada bukti kalau kamu memang tertarik masuk jurusan kedokteran hewan. Kerjaan cuma kelayapan. Semester lalu ngambil cuti buat apa? Supaya bisa lebih bebas kelayapan? Semakin dewasa semakin nggak bener kamu ini."

"Mas," tegur wanita di sebelahnya.

"Duh, kenyang, padahal ini roti masih utuh." Pram menyeletuk, meletakan kembali rotinya lantas mengambil tas hitam yang tergeletak di kursi sebelah. "Ma, aku berangkat duluan, ya. Mama jangan lupa minum obat," pamitnya kemudian hanya pada sang mama. Wanita itu mengangguk, sempat mengucapkan "hati-hati" sebelum putra bungsunya itu berakhir meninggalkan rumah.

Hal lumrah yang kemudian terjadi setiap kali Pram memutuskan kabur dari celotehan sang papa adalah, adu argumen di antara kedua orang tuanya. Saat SMA dulu, papa dan mamanya hampir setiap hari berselisih paham tentang topik yang sama. Sang papa yang terus menuntut Pram untuk menjadi anak sesuai standar dan ambisinya, dan sang mama yang amat menjunjung tinggi kebebasan berekspresi anak-anaknya. Dan hal itu hampir selalu terjadi di meja makan. Papanya itu memang hobi sekali merusak nafsu makan orang lain. Karena itu Pram menyebut meja makan di rumahnya sebagai meja paling menyebalkan sedunia.

Namun, setelah duduk di bangku kuliah, setelah Pram memutuskan untuk mengurangi intensitas pertemuannya dengan sang papa, keributan seperti itu mulai jarang terdengar. Tapi mungkin, tidak untuk pagi ini.

"Mas, kamu jangan biasa begitu, dong, sama Pram," tegur wanita itu pada sang suami setelah kepergian Pram. "Pram itu udah gede, bukan saatnya lagi kita mengatur segala tindakannya. Biarkan dia menjalani hidupnya sesuai apa yang dia mau. Cukup percaya saja sama dia, kalau dia mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri."

"Aku ini memberitahu yang benar, Han. Dia itu terlalu bebas, terlalu seenaknya. Mau jadi apa dia nanti kalau begitu terus." Pria itu meraih cangkir kopinya, meneguk isinya dengan perasaan dongkol.

"Kita tidak bisa menentukan mana yang benar dan salah untuk hidup orang lain, Mas," jelas sang istri. "Termasuk hidup anak kita sekalipun. Yang tau mana benar dan salah untuk hidupnya, hanya dia."

107,7 FM (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang