24. Bukan yang Selain Lo

62 10 0
                                    

Kedua kaki Pram bekerja keras menyusuri trotoar, mengejar langkah Mody. Mulutnya tak mau kalah, terus memanggil nama gadis yang tak kunjung mau menoleh apalagi berhenti melangkah itu. Belum lagi suara klakson kendaraan yang memekakkan telinga, semakin membuat Pram frustasi.

"Mod!"

"Mody!"

"Bisa berhenti dulu, nggak?"

"Jangan jalan terus, ntar kaki lo copot!"

Pram mengela nafas kasar karena Mody masih tak mau menggubris panggilannya. Ia sendiri juga tidak mengerti mengapa ia melalukan ini, mengapa ia takut dan khawatir Mody marah padanya karena kejadian tadi. Padahal, sebelum ini terjadi, dialah yang marah dan bertekad untuk mengabaikan Mody setelah apa yang gadis itu lakukan padanya kemarin.

Ternyata, akan ada saatnya ia berada di posisi seperti ini. Di posisi dimana rasa sukanya pada seorang gadis mampu meluluh-lantahkan ego hingga harga diri yang sangat ia junjung tinggi.

Pram berlari menyusul Mody hingga berhasil menahan pergelangan tangan gadis itu.

"Denger!" ucapnya dengan nafas tersengal. "Kalau Mody mau marah, gapapa, marah aja sama gue. Tapi, yang harus lo sadar, bukan gue yang nyium Shena tapi Shena yang nyium gue. Dan kalau lo mau nanya kenapa gue nggak menghindar? Gimana caranya gue menghindar kalau gue aja nggak tau dia bakal ngelakuin itu?"

Hening.

Mody hanya bergeming. Tidak memberontak seperti biasa karena Pram menahan acara kaburnya. Tidak juga membalas ucapan Pram dengan kata-kata pedasnya. Gadis itu hanya menatap lurus ke depan dengan mulut mengatup. Dan reaksinya itu justru semakin membuat Pram tak tenang. Akan lebih baik jika Mody melawan ucapannya, dan bukan malah hanya diam seperti ini. Kalian juga pasti tahu, marah diam jauh lebih menyeramkan dibanding marah yang meledak-ledak.

Melihat Mody diam saja membuat Pram merasa telah menyakiti gadis itu lebih menyakitkan dari yang seharusnya. Dan ia semakin terlihat brengsek ketika sekilas ia dapati mata Mody tampak berkaca-kaca sebelum segera gadis itu tutupi dengan menunduk. Pram menelan ludah, rahangnya mengeras, genggamannya menguat. Satu tangannya yang bebas kemudian menyentuh pipi Mody. Dengan sedikit membungkuk ia lantas berkata, "Mody marah banget sama gue, ya? Gue nyakitin banget, ya?"

Mody tetap bungkam.

"Gue sa—"

Ucapan Pram terputus begitu Mody melepaskan genggamannya. Tanpa mengatakan apapun, gadis itu berbalik, kembali melanjutkan langkah, meninggalkan Pram dengan satu tangan menggantung di udara.

Tak mau masalah berakhir tanpa penyelesaian, Pram kembali mengejar langkah Mody. Namun gadis itu tak lelah memberikan jarak baru di antara mereka. Mody menyeberang ke sisi lain jalanan, menghampiri sebuah taksi yang terparkir di sana. Pram yang melihat itu semakin berusaha menyusul sambil sesekali menyerukan nama gadis itu. Namun, karena terlalu fokus pada Mody yang sedang bersiap memasuki taksi, tanpa ia sadari sebuah motor melesat ke arahnya ketika kakinya baru saja turun dari trotoar untuk menyeberangi jalan.

TIN-TIIINN!!

"MAS, AWAS!"

Brak!

Tangan Mody yang akan menutup pintu taksi seketika tertahan. Tubuhnya menegang. Sayup-sayup ia dengar bising di luar selepas suara tabrakan tadi.

"Waduh, berdarah. Mas, gapapa, Mas?"

"Akh!"

"Mbak, itu temennya?" Suara supir taksi menyentak lamunan Mody. Gadis itu mengerjap. Bahkan ia tidak ingat apa bunyi pertanyaan yang supir taksi itu ajukan.

107,7 FM (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang