34. Yang Hilang Tak Kembali

65 9 0
                                    

Pram bergegas menuju ruang ICU. Wajahnya tegang, peluh membasahi pelipisnya. Skenario menakutkan membentang di dalam kepalanya. Di ujung lorong, langkahnya terhenti. Suara napasnya yang tersengal, terdengar cukup keras hingga membuat dua orang yang tengah berdiri di depan pintu ICU menyadari keberadaannya. Pram mengambil langkah lebar namun penuh pertimbangan. Sebagian dirinya ingin kabur, sebagian lagi memaksanya untuk tetap maju.

"Pram," sang kakak—Yolan—menyentuh pundaknya, namun segera ditepis oleh Pram. Tatapan laki-laki itu fokus pada pintu ICU yang tertutup rapat sementara kakinya terus melangkah mendekat. Hingga ketika hanya tinggal dua-tiga langkah jaraknya dari pintu, seorang pria berjubah putih keluar, dengan raut muka yang sangat Pram benci. Sedikit tertunduk, menampilkan semburat penyesalan yang bercampur rasa iba.

Pram hanya diam, menatap pria di hadapannya itu dengan isi kepala berkecamuk, menanti kalimat apa yang akan pria itu katakan.

"Saya minta maaf."

Prang!

Hati Pram seperti pecah berkeping-keping hanya dengan mendengar tiga kata itu. Buku-buku tangannya memutih, tapi raut mukanya konsisten datar.

"Saya dan tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin."

Basi! maki iblis dalam benak Pram.

"Sel kanker yang ada di tubuh Ibu Hana ternyata mengalami metastasis di paru-paru Beliau. Sel kanker tersebut mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dan agresif dan hal itu tidak terdeteksi pada saat sesi pengobatan dan pemeriksaan rutin yang kami lakukan terakhir kali. Sekali lagi saya selaku dokter yang menangani Ibu Hana memoh—"

Kalimat dokter terputus ketika sebuah kekehan lolos dari mulut Pram. Laki-laki itu berjalan mondar-mandir sambil menjambak rambutnya sendiri, sebelum kemudian ia kembali berdiri di hadapan pria itu. "Dok, jangan ngaco, deh. Terakhir kali Dokter bilang kondisi mama saya membaik."

Pria itu menunduk dalam, raut penyesalan semakin pekat menghiasi wajahnya.

"Dok, beberapa jam yang lalu. Baru beberapa jam yang lalu saya nemenin mama saya jadi pembicara di seminar. Dan mama saya baik-baik aja. Gimana bisa kurang dari satu hari, tiba-tiba mama saya—"

"Pram," Yolan mendekat, memegangi bahu adik satu-satunya itu. Namun, seperti sebelumnya, Pram menepis. Laki-laki itu mendorong Yolan menjauh.

"Diem lo!" seru Pram lantas kembali fokus pada pria di hadapannya. "Dok, sekarang juga saya bisa laporin Dokter ke pihak berwajib karena udah bercandain nyawa mama saya."

Sang dokter menghela napas. "Pram," lirihnya, menyentuh salah satu pundak laki-laki itu, "saya memang dokter, tapi jangan lupa kalau saya juga manusia biasa. Sama seperti kamu, saya juga tidak ingin kehilangan satupun pasien saya. Kondisi mama kamu berdasarkan pemeriksaan terakhir memang cukup membaik. Kalau saya bisa, saya juga inginnya pasien saya sembuh dari penyakit yang diderita. Tapi sekali lagi, saya cuma manusia biasa. Sekeras apapun saya berusaha menyelamatkan nyawa manusia, yang menentukan tetap yang di atas." Pria itu membungkuk dalam. "Sekali lagi, saya mewakili seluruh tim dokter, meminta maaf yang sebesar-besarnya atas ketidakmampuan kami menyelamatkan Ibu Hana." Pria itu menepuk pelan bahu Pram sebelum kemudian beranjak pergi.

Pram termangu di tempat, menatap tubuh yang kini sudah tertutupi kain putih itu dari luar ruangan. Ini begitu mendadak. Bahkan sulit bagi Pram untuk menerima kenyataan yang terpampang jelas di depan matanya itu. Kakinya seperti tertancap di ubin, tak mampu bergerak untuk mendekat, untuk melihat wajah wanita pertama yang ia cintai itu untuk terakhir kali. Ia ingin mengatakan pada Tuhan bahwa ini tidak adil, bahwa ia tidak sanggup, bahwa ia tidak sekuat itu untuk kehilangan wanita paling berharga dalam hidupnya. Tapi, bagaimana hari-hari sulit penuh rasa sakit yang mamanya jalani selama dua tahun belakangan, kemudian berputar di kepalanya seperti sebuah cuplikan film. Bagaimana tubuh sang mama yang tampak ringkih setiap kali selesai menjalani pengobatan rutin hingga butir-butir obat yang harus wanita itu telan setiap hari. Pram mengingat itu semua begitu detail. Dan seketika sebagian dirinya merasa lega. Lega karena sekarang, tidak ada rasa sakit lagi yang mamanya rasakan.

107,7 FM (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang