5. Obrolan Malam

71 8 4
                                    

Berkat kelakuan Fanta yang konsisten meledek, Sachi jadi banyak mikir. Ganjalan tentang hubungan Fanta dengan Iko sudah tuntas. Iko sudah balikan dengan Fadel. Fanta sudah tidak masalah dengan itu.

Tapi ... tentang Fanta yang gay. Ternyata tidak sepenuhnya benar. Fanta masih tertarik dengan perempuan. Di ujung kesimpulan itu, Sachi tak henti menoleh ke kanan sepanjang perjalanan pulang. Malam sudah larut setelah lemburan yang berat. Sachi nebeng mobil Noah. Leher Sachi seperti dikunci stang, mengamati kawan sejak kecil Fanta yang serius menyetir mobil, mengantarnya pulang.

"Apaan, sih, ngeliatin mulu? Laper? Mau berhenti mampir beli makan dulu?"

"Non. Lo ama Fanta kan udah temenan dari kecil. Emang kalian nggak pernah naksir-naksiran gitu?"

Pertanyaan Sachi sudah disambut dengan kerlingan jengah bahkan sebelum Sachi menyelesaikan pertanyaannya. Tepat saat nama Fanta tersebut lagi.

"Astaga, Sachiii .... Kamu masih aja, ya, bahas Fanta mulu. Kamu tuh kayak anak ABG baru jatuh cinta, yang kepo gebetanmu dah punya cewek atau belum tahu!"

Noah mendelik, menoleh ke arah Sachi, ke jalan, ke Sachi, ke jalan lagi. "Jangan-jangan kamu beneran naksir sama Fanta, ya? Gara-gara diledekin?"

Sachi menghentakkan belakang kepalanya ke sandaran jok. Kesal. "Orang nanya, malah dibales nanya. Pake nuduh lagi. Jawab duluuu!"

"Enggaaak!" Noah membalas cepat, sesuai permintaan.

"Yang ada dulu Fanta nyomblangin aku mulu sama temen-temennya. Udah kayak publicist pribadiku dia tuh. Katanya, orang kayak aku nggak bisa nyari pacar sendiri. Terus dia jadi sibuk sendiri, ngenal-ngenalin aku ke temennya."

"Iya, sih. Sampai sekarang aja lo masih suka bengong nonton berita, saking masih kebayang-bayang first love lo yang reporter itu."

"Ih, apaan, sih. Kenapa jadi aku yang kena serang? Harusnya sekarang kamu yang jawab. Ngapain nanya-nanya? Kamu beneran suka sama Fanta sampai kepo kayak gitu?"

"Enggaaak!"

Mainan bebek ayunan di rear mirror mobil Noah mungkin merasa deja vu. Tadi sopirnya yang berteriak enggak dengan nada sebal, kali ini penumpangnya. Tapi ya sudahlah. Lubang dan kerikil jalan masih banyak untuk membuatnya terus berayun.

"Ih ...," Noah menoleh ke arah Sachi. Kali ini beberapa lama, mencoba menyelidiki air muka Sachi.

"Naksir, ya?"

"Ck! Bukan gitu!"

Noah tertawa. Muka Sachi kali ini menghibur sekali. Tampaknya baru kali ini Noah mendapati kawan yang biasanya kekanakan ini ketar-ketir seperti itu. Mereka sudah berteman beberapa tahun. Meski dihubungkan oleh pekerjaan, karena hanya punya tiga orang dalam tim dan menghadapi apa-apa yang sulit bertiga saja, bisa dibilang pertemanan mereka cukup erat. Sachi memang lebih dekat dengan Iko. Tapi karena Noah sama-sama wanita, ada hal-hal yang hanya bisa mereka bagi satu sama lain. Contohnya seperti ini.

"Enggak, Sachi .... Aku sama Fanta dari dulu cuma temenan aja. Nggak pernah ada naksir-naksiran. Aku emang pernah ngerasa geer waktu dibilang manis sama Fanta. Dulu, jaman masih SMP dan gampang baper. Tapi nggak sampai sejauh itu. Tahu, kan? Pembawaan Fanta agak rumpi gitu. Dia lebih enak diajak curhat dibanding diajak pacaran. Seleraku juga bukan yang berisik kayak Fanta. Jadi ... nope. Nggak. Nggak ada love spark."

Sachi manggut-manggut. Sepertinya benar. Noah saja memilih Sandar dibandik Saka. Ia lebih suka laki-laki yang pendiam, kalem, cool, sebelas-dua belas dengan dirinya sendiri. Ah ... mungkin tipe cowok Noah seperti itu karena sudah capek menghadapi Fanta lebh dari separuh hidupnya?

"Mama-mama kami sih, yang suka bercanda .... Katanya kalau sampai dua anak ini nggak kawin-kawin, mau dinikahin aja. Amit-amit."

Sachi tertawa. Agak setuju juga dengan para mama. Sebenarnya membayangkan Noah dan Fanta menikah tak buruk juga. Dua sahabat sejak kecil ini kadang tampak cocok dan padu sekali. Apalagi dalam bidang menjadi tempat sampah curhatan orang lain. Kalau mereka jadi suami-istri, mungkin hubungan akan lancar-lancar dan langgeng seperti persahabatan mereka, saking dua-duanya pandai mendengarkan dan mencari solusi.

"Makanya aku sama Fanta sama-sama janji bakal cari calon yang bener dulu sebelum mama-mama kami nekat ngawinin kami. Ogah ...."

Mobil berhenti di lampu merah. Sebenarnya jalan sudah lengang karena mulai larut. Tapi hitung mundur di perempatan besar itu cukup lama. Merasakan jeda dan topik menikah, mendadak lamunan Sachi berbelok ke topik lain. Pulang duluan ke rumah, dimana ia malas sekali menghadapinya.

"Non .... Lo udah disuruh nikah belom sih sama keluarga lo?"

"Udah, lah ...." Noah menjawab dengan helaan sebal. Sepertinya mereka punya rasa jengah untuk topik yang sama. "Ya kali umur segini nggak disuruh nikah, Chi ...."

"Terus?"

"Ya nggak terus-terus. Orang belom ada calonnya, mau gimana?"

"Iya, sih ...." Sachi menunduk. Jari-jarinya memainkan seatbelt yang punya beda tekstur jika digaruk dari arah yang berbeda.

Merasakan hawa muram dari Sachi, Noah jadi menatap kawannya empatik. "Ada apa ...? Kamu udah ditanya-tanyain?"

Sachi mengangguk. Tapi setelah dua detik, ia meralatnya dengan gelengan cepat. "Nggak ditanyain, sih. Tapi disindir. Males banget. Gara-garanya sepupu gue yang seumuran gue udah punya anak dua. Lah? Gue harus gimana? Bikin anak kan nggak aduk-aduk-aduk-jadi. Emangnya bakwan? Kalau mau bakwan sini dah gue bikinin!"

Noah tertawa dengan rengekan Sachi. Tapi sampai satu titik, ia merasa topik yang sedang mereka bahas tidak lucu sama sekali. Noah punya kekesalan yang sama.

"Aku juga pernah ditanyain begitu waktu di arisan keluarga besar. Katanya, apa kamu nggak mau ngasih Papa-Mama kamu cucu? Aku jawab aja, jaman sekarang lebih gampang punya anak kok, daripada punya suami. Kalau mau anak, Noah bisa bikin. Mau berapa? Eh ... kicep mereka semua."

"Wah, Noah ...." Sachi menatap kawannya takjub. "Lo berani bangeeettt. Kalau gue jawab gitu, kayaknya wajan buat goreng bakwan udah nebas leher gue."

Noah tergelak. "Aku juga diomelin parah habis itu, Chi. Tapi gimana? Menikah, punya anak, dan berkeluarga kan nggak kayak Ujian Kenaikan Kelas, harus bareng-bareng seangkatan."

Sachi tersenyum. Seharusnya ia mengobrol dengan Noah sejak kemarin-kemarin.

"Sekarang, aku bisa ngomong gini, Chi. Tapi ada saatnya aku juga bertanya-tanya, kapan giliran gue kayak orang-orang. Kalau kamu juga merasa kayak gitu, berarti itu hal yang wajar untuk orang seumuran kita, Chi ...."

"Iyah ... Hehe .... Kayaknya kita perlu saling ngingetin dan nguatin biar sabar-sabar aja, yak."

"Iya. Ingetin aku nanti kalau tiba-tiba capek, ya, Chi. Ingetin kalau aku pernah ngomong sotoy begini."

"Iya dah. Palingan gue yang sering minta lo nyeramahin gue, sih ...."

Noah tertawa. Sachi tersenyum. Malam di bawah lampu merah dengan digit yang terus berkurang itu mengurangi sedikit beban di bahu mereka.

What Do We Do After A Kiss?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang