Perihal Isi Kepalaku

5.2K 426 15
                                    

Niat pulang ke rumah untuk menghindari si Babas, eh kenyataannya malah makin pusing dengan omongan Mama.

Jujur aja, si Tian itu ganteng, berkharisma, tajir juga. Tapi dari awal ketemu dia, nilaiku untuknya udah minus.

Meskipun pandangan pertama, dia membuatku terpesona. Tapi setelah dia salah paham, langsung nilainya jeblok di mataku. Persetan dengan wajah tampan nan rupawan itu. Toh, kelakuannya bikin aku sebal. Ditambah perkara nomor hape yang bikin hidupku gonjang-ganjing. Makin memuncak kekesalanku.

Tapi manusia itu kayaknya gak peka. Dia gak merasa kalau aku itu benci sama dia. Malah tanpa tedeng aling-aling ngajak nikah.

Yang bikin herannya lagi, tadi dia bilang apa? Aku menghindar aja bikin dia penasaran? Aku jutekin, dia bilang menggemaskan? Dasar buaya buntung! Sorry-sorry jek, gombalannya gak bikin aku klepek-klepek.

Sekarang aku harus putar otak, gimana caranya biar dia tarik kembali ajakan nikahnya itu. Gak apa-apa deh, dia ilfil atau benci sama aku juga. Yang penting, aku bisa putus kontak sama manusia aneh itu.

Oh, bukan cuma dia yang harus aku tangani. Tapi Mama juga. Heran banget, Mama yang selektif, yang suka komen ini itu sama mantan-mantanku, tiba-tiba bisa luluh gitu aja sama si Babas. Padahal baru pertama kali ketemu. Pakai pelet apa sih orang itu? Kok, efeknya bisa maha dahsyat gitu ke Kanjeng Ratu.

Walau gak dipungkiri, dilihat dari kaca mata seorang ibu, si Tian itu husband material seperti yang aku sebutkan tadi. Dia punya segalanya yang menggiurkan. Tapi kan, kalau kelakuan jungkir balik dengan penampilannya, aku sih ogah. Gak kebayang, gimana menderitanya kalau harus menghabiskan seumur hidup bareng dia.

Babas Tumbas
Saya sudah di rumah, Yang. Kamu istirahat ya...

Bodo amat. Mau udah sampai rumah, mau sampai ke akhirat juga gak peduli. Ngapain coba pakai WhatsApp kasih kabar segala? Gak penting!

Babas Tumbas
Oya, terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk saya. Jangan lupa, pertimbangkan tawaran yang tadi ya, Yang.

Gak perlu pakai pertimbangan. Dari tadi aku sudah langsung tolak kan? Ngapain dipertimbangkan lagi? Toh, gak ada sesuatu yang mestiku pertimbangkan.

Kalau dilihat cuma dari kegantengnya yang harus aku pertimbangkan, masih banyak lelaki di dunia ini yang ganteng tanpa kepedean kayak dia. Kalau dari segi finansial? Aku gak muluk-muluk minta suami tajir kok. Buatku itu bonus aja. Yang jelas, calon suamiku nanti, mau usaha, kerja keras. Toh, aku juga bukan pengangguran. Lagian, rezeki masih bisa di cari bareng-bareng kan? Malah enak kalau hasil bersama. Dia gak akan merasa besar kepala karena udah menanggung beban dengan membiayai hidupku.

Terus mengenai jujur apa adanya seperti yang dia sebutkan tadi, menurutku semua yang mau rumah tangga memang begitu kan? Bukan hal yang spesial, tapi kejujuran memang sangat dibutuhkan dalam berumah tangga.

Perkara teori rumah tangga, aku masih bisa berkomentar kalau rumah tangga itu harus begini begitu. Tapi aku gak tahu prakteknya bakal sesuai teori atau enggak. Lagipula, berumah tangga itu bisa berjalan sukses dengan siapa kita berpartner bukan? Kalau partner kita toksik, gak bikin kita berkembang, ya... buat apa berumah tangga? Dan, kalau partner kita nyebelin juga bisa-bisa bikin kita gila. Point ini nih yang ada di si Tian, yang bikin aku langsung 'say no' tanpa pikir panjang.

"Jadi, semalam Mas Tian ngajak kencan?" tanya Mbak Retno yang membuatku melek seketika ketika mendengar suaranya.

"Sehat Mbak?" sapaku dengan suara serak. Masih ngumpulin nyawa lho aku, udah di todong pertanyaan yang bikin aku sulit tidur semalaman aja.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang