Perihal Bahan Gunjingan

4.4K 451 28
                                    

"Seganteng apa sih Ma, pacarnya Yayang?" tanya Mbak Gita saat kami ngumpul di meja makan.

"Bukan pacarku, Mbak!" protesku yang langsung dapat cengiran jahil Mbak Gita.

"Lihat di gugel aja, Mbak. Kata Retno ada di gugel. Tapi kalau menurut Mama sih ganteng, dewasa orangnya," jawab Mama sambil menyuapi Farel.

"Nih, ganteng kan? Blasteran gitu lho. Kualitas premium gak kaleng-kaleng," Mbak Retno antusias menyodorkan hapenya ke hadapan Mbak Gita.

Ku biarkan mereka meng-ghibah sesuka hati. Percuma membela diri juga gak bakalan di anggap.

Apalagi aku udah kesel setengah mati sama Mbak Retno. Seenaknya aja, dia balas WhatsApp si Babas Tumbas tanpa seizinku tadi. Padahal dari semalam aku sudah bertekad gak mau balas WhatsApp dia, atau angkat telepon dari dia lagi.

Belum lagi, perkara nama si Tian yang ku tulis Babas Tumbas di hapeku yang langsung dilaporin Mbak Retno ke Mama. Alhasil, Mama pagi-pagi udah ceramah. Mbak Gita malah meledekku, dia bilang 'panggilan kesayangan' segala. Biang keroknya alias si Mbak Retno cuma nyengir aja. Nyebelin emang!

"Cool. Sikat Yang," goda Mbak Gita.

"Sejak jadi BA, Yayang sekarang naik kelas dong. Bukan cuma teman model lagi yang naksir. Tapi Om-Om," Mbak Retno dan Mbak Gita tertawa bahagia sementara Mama cuma mesem-mesem aja.

"Om-Om... Dia seumur dirimu, Mbak!" ketusku.

"Enak aja! Aku masih dibawahnya 5 tahun, ya!" Mbak Retno tak terima.

"Tapi kok, kelihatan sama tuanya," sindirku. "Atau si Tian yang awet muda?" sindirku lagi.

"Ciee... Yayang belain pacarnya," Mbak Gita malah menyindirku lagi.

Aish! senjata makan tuan.

"Pasti dong. Pacar tuanya di belain. Sampai gak mau berbagi cerita sama kita. Semalam, kencan dimana? kencan sama siapa? Ngapain aja?" sindir Mbak Retno dengan nyanyian khas Lucinta Luna.

"Yayang punya pacar, Mi?" celetuk si bocil ikut-ikutan.

"Bukan pacar, sayang. Calon suami," jawab Mbak Gita enteng.

"Calon suami itu apa?" tanya si bocil lagi.

"Suami itu, kayak Mami sama Papi suka tium-tiuman, Rel. Farel suka lihat kan Ma—"

"Hush! Ngomong depan anak kecil kok gitu!" protes Mama sambil melotot ke arahku.

"Tahu tuh Yayang. Kayaknya udah gak tahan tuh, Ma." Mbak Gita mengerling padaku.

Kan, keluarga ini emang kompak. Kompak banget kalau udah ngurusin aku. Dari urusan sepele sampai urusan kayak gini, semua berkomentar.

Cuma Mas Puja doang sekarang yang belain aku. Sayangnya, dia udah berangkat dari subuh karena harus ke luar kota. Jadi gak ada yang membelaku.

Ya udah lah, aku gak mau ambil pusing lagi. Ku biarkan mereka mengoceh sesuka hati. Aku enggan menanggapi lagi sampai tiba-tiba bunyi hapeku mengalihkan atensi mereka. Buru-buru ku ambil hapeku, menjauhkan dari jangkauan orang-orang kepo itu.

"Angkat Yang. Pasti Mas Tian," titah Mbak Retno padaku.

"Bukan. Dia si... Nico," reflek aku berbohong.

Kenapa sih si Babas nelepon di saat aku lagi jadi bahan gunjingan keluargaku sendiri?

"Bohong. Si Nico udah ke laut. Gak mungkin tiba-tiba dia telepon lagi," sela Mbak Retno mengingatkanku pada manusia php itu.

"Yang, angkat dulu. Gak sopan kamu kalau di telepon gak mau ngangkat," timpal Mama. Selalu aja ikut-ikutan Kanjeng Ratu yang satu ini.

"Udah gak bunyi, udah mati teleponnya, Ma!" bohongku lagi.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang