Perihal Main Kode

3.2K 353 16
                                    

Baru kali ini aku merasa nyaman selama jalan bersama si Babas. Plong aja rasanya kalau hati ikhlas mah. Gak kayak kemarin yang uring-uringan setiap si Babas datang.

Memang betul ya, segala sesuatu kalau dilakukan dengan tepat, bawaannya ringan. Gak grasak-grusuk, gak lelet juga. Tapi sersan alias serius tapi santai. Malah aku gak ngerasa terbebani sama sekali. Bahkan aku gak canggung lagi padanya.

Si Babas juga lebih aktif, bund. Dia banyak senyum selain banyak nanya. Seperti biasa, Babas lebih komunikatif, ya walaupun selama ini memang dia yang sering mengajakku bicara, tapi baru kali ini, aku benar-benar menyimak apa yang dia ucapkan. Pokok'e bedaaa banget sama kemarin-kemarin. Kita kayak lagi pdkt-an gitu lho. Bukan mantanan yang saling benci.

Semua itu berkat buku cat—

Ya Tuhan...

Kenapa aku lupa gak bawa buku itu? Aaarrggghhhh... Padahal kesempatan emas buat balikin buku catatan itu ke tempatnya. Duh... pikun banget sih!

"Ngantuk Yang?" tanya si Babas saat aku hanya diam.

"Enggak, Mas." Cuma lagi nyesel gak bawa buku catatan milikmu. Lanjutku dalam hati.

"Bentar lagi nyampe. Maaf kalau jauh ya?"

"Santai Mas," balasku sambil tersenyum.

Tiba di kawasan apartemen si Babas, membuatku takjub. Ini sih kawasan elit. Aku malah baru pertama kali menginjakan kakiku ke daerah ini. Model sekelas aku, gak mungkin banget bisa tinggal disini, kalau bukan simpanan gadun. Hiiihhh...

"Yuk, turun," ajaknya. Si Babas turun duluan sementara aku merapikan rambut. Babas membuka pintu belakang mobil kemudian membawa goodybag yang berisi jajananku.

"Jangan di bawa semua, Mas. Kan gak mungkin aku makan semua," ujarku padanya. "Atau mau Mas bawa ke unit Mas buat persediaan?" tanyaku.

"Enggak. Buat kamu aja. Tadinya mau Mas bawa semua takut kamu bingung mau makan yang mana duluan," ujarnya.

"Bentar," aku buru-buru turun mendekati si Babas. Dia mempersilahkanku untuk memilih cemilan yang akan aku makan.

"Mas makan ini?" Ku acungkan mini pastrie kemasan padanya.

"Boleh," si Babas tak menolak sama sekali.

"Kalau ini?" Ku tunjukan kacang-kacangan ke arahnya.

Si Babas mengangguk, "boleh," jawabnya lagi.

Semakin iseng, aku berbalik menghadapnya lagi setelah mengambil salah satu snack, "chiki mau?" tantangku.

Dia mengangguk, "boleh juga," jawabnya.

"Tumben semua mau. Kan gak sehat Mas?" cibirku.

"Sekali-kali gak apa-apa. Kita makannya berdua, gak semua Mas yang abisin kan?" Dia bilang makan berdua, kenapa aku jadi geer sih? Padahal cuma makan dari plastik yang sama. Bukan bekas juga. Duh, otakku kayaknya udah gak waras.

Menyusuri lorong dengan design yang modern dikelilingi oleh pepohonan, kami tiba di depan sebuah bangku menghadap taman kecil.

Suasananya nyaman. Seger banget karena sekelilingku hanya ada tanaman hijau.

"Nyamannya... Udah lama banget aku gak kayak gini," ujarku seraya duduk di bangku.

Si Babas mengangguk, "betul. Mas juga udah lama gak menikmati pemandangan kayak gini. Paling, Mas lihat di wallpaper laptop aja," ujarnya ikut duduk di sampingku. "Kapan-kapan, kamu mau jalan-jalan sama Mas?" ajaknya.

"Ha? Mmm... Boleh," jawabku sok-sok mikir. Padahal aku seneng banget kalau dia beneran mau ngajak jalan lagi. Berarti pertemuan kita gak berakhir sampai di sini.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang