Bab 5 : Terciduk

1.9K 229 1
                                    

Arion merasa segar setelah mandi air pemberian dukun itu. Ya, ia putuskan untuk menggunakan meski hati kecil masih tak percaya. Lagi pula, mendapatkan air itu tidaklah gratis, anggap saja sekarang Arion tengah menghargai uang.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, rumah ini tidak akan terlihat aktivitas keluarga tengah menikmati sarapan bersama di meja makan, meskipun anggota keluarga tengah lengkap di dalam rumah.

Biasanya, jika Alin dan Key menginap, hanya mereka berdua yang Arion dapati menggunakan meja makan. Adiknya itu benar-benar berbeda dengan sang ibu.

Meski tak pandai memasak, sebisa mungkin Alin berusaha untuk menyediakan semua kebutuhan keluarga kecilnya. Arion begitu terharu melihat perubahan Alin, tak ada yang mengajarkan, katanya itu insting alami.

Memikirkan Alin, membuat Arion merindu. Ia putuskan untuk menuju rumah Alin, sekalian bermain bersama Livano.

---

"Nggak ngantor, Bang?" tanya Key ketika membukakan pintu untuknya.

Keyvano sudah rapi dengan pakaian santai, sebagai pemilik kafe yang sudah memiliki beberapa cabang, mau berpakaian sesantai apapun tidak masalah.

Berbeda dengan Arion yang harus mengenakan kemeja, dasi, serta jas. Hah, kadang ia ingin sekali membakar pakaian itu di saat muak melihat tumpukan pekerjaan, dan mendengarkan paksaan dari sang ayah.

"Males," ujarnya sembari masuk ke rumah tersebut tanpa mengucapkan salam.

Dari tempatnya sekarang, terdengar suara tawa Livano. Arion mempercepat langkah, menuju ruang keluarga.

"Liv, Paman data—Ayah! Ibu!" pekiknya terkejut melihat sepasang suami-istri yang tengah bermain dengan sang cucu.

"Dav?" Keduanya menatap horor ke arah Arion.

Alin yang baru saja masuk ke ruangan tersebut, menepuk jidat saat melihat abangnya. "Astaga, aku lupa kasih tahu Key," ucapnya panik.

Arion menatap ketiganya secara bergantian, pada saat itu juga curiganya terjawab. Benar, ini bukan hanya sekadar perjodohan, ada permainan di belakangnya.

"Jelasin!" ketusnya.

"Apanya yang dijelasin?" Sang ayah menatap bak seseorang yang tak mengerti maksudnya.

Tidak lagi, Arion tidak akan lengah. Meskipun akting itu bisa mengelabuinya kemarin, hari ini tidak lagi. Sudah pasti semua ini rencana ayahnya.

"Sarapan dulu, Bang Dav. Alin udah masak," ajak adiknya itu.

Detik kemudian dirasakan Alin telah melingkarkan tangan di lengannya, Arion ditarik menuju dapur. Meskipun sekarang ia tengah lapar, tetapi yang diinginkan sekarang adalah penjelasan.

Mengapa para orang tua terkesan menghindarinya? Apa tujuan dari perjodohan ini? Mengapa mereka ada di rumah Alin? Dan kenapa Alin tidak memberitahukan padanya?

Ah, sudah jelas jawabannya, Alin pasti bersekongkol dengan ayah dan ibu. Namun, meskipun dipikirkan, tak ada alasan logis untuk Alin dan orang tuanya melakukan hal ini.

"Kamu juga tahu alasannya, Lin?" tanya Arion, kini ia tak bisa menyembunyikan kekecewaan.

Alin menghentikan langkah, memutar tumit dan menatap intens abangnya itu. "Apanya?"

Ditanya begitu, Arion jadi bingung untuk menjabarkan apa yang mengganjal di hati. Namun, satu yang selalu ada di kepalanya, yaitu keseriusan mereka dalam perjodohan.

"Ini beneran dijodohin, 'kan? Kenapa Abang nggak bisa dapet nomor kontak Fidelya? Terus, kenapa Ayah dan Ibu terkesan hindari Abang?" Beralih pada orang tuanya yang duduk santai.

Ah, jika dipikir kembali, Arion sudah seperti orang bodoh sekarang. Mungkin mereka menertawakannya dalam hati, karena terlihat bodoh hanya karena satu perempuan yang bertemu dengannya tak sampai lima menit.

"Kalau kamu mau nomor kontak Fidelya, usaha, dong," timpal Safir.

"Terus, kenapa Ayah dan Ibu hindari aku?"

"Kita nggak hindarin kamu, Nak. Ayah dan Ibu baru sampai tadi subuh dari perjalanan bisnis, kami singgah di sini karena udah kelelahan dan pengin cepat-cepat istirahat," jelas sang ibu, "rumah kita terlalu jauh, Key yang jemput dari bandara, makanya mintanya singgah di sini dulu."

Arion mengangkat satu alisnya. "Terakhir, ini beneran dijodohin, 'kan? Bukan akal-akalan atau sekedar khilaf?"

Safir mengangguk tegas. "Iya, ini serius. Kenapa? Kamu bakal mikir beneran kalau punya nomor HP Fidelya?"

"Bukan gitu." Arion mengerang kesal.

"Ayah punya, tapi nggak gratis, ka—"

"Apa syaratnya?" interupsinya, secepat kilat.

Safir tertawa geli, tak menyangka respons sang putra begitu cepat. "Bayar Ayah dengan kerja kerasmu di kantor, gimana?"

---

Vote dan komen 😁
Ternyata air dari dukunnya gak manjur euy.

Jebakan Pak CEO (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang