Bab 23 : Caci

1.2K 177 9
                                    

Arion kesal bukan main hari ini, sahabatnya yang bernama Arjuna menjanjikan dirinya bekerja di bagian pembuku di supermarket, malah dikerjai, disuruh menggunakan seragam khas milik supermarket tersebut dan berjaga di bagian perkakas dapur.

Ia terima, sebab itu adalah salah satu syarat sebelum naik ke bagian pembukuan, dan syarat itu akan berlangsung selama satu minggu. Meskipun sebenarnya Arion cukup kewalahan dikerumuni para ibu-ibu yang terus bertanya letak alat dapur. Jujur, Arion yang tidak tahu menahu soal alat dapur, malah menunjuk asal dan untungnya wajah ini cukup tampan, membuat pelanggan tak marah.

Di waktu pulang, Arion menyempatkan diri untuk pergi ke kafe tempat bekerja sang istri. Ia tahu bahwa Fidelya tak butuh dijemput, tetapi hati ini membutuhkan energi hanya dengan bertemu meskipun pada akhirnya malah diusir oleh Fidelya. Ya, itu sudah pasti akan terjadi.

Berbekal mobil yang dipinjamkan oleh Razka, Arion menuju kafe tersebut. Langkahnya penuh percaya diri, berjalan menuju kasir dan bertanya keberadaan sang istri. Para karyawan menunjuk ke arah kiri, meja yang berada di sudut kafe. Fidelya terlihat seperti pelanggan yang mempunyai kecantikan setara malaikat.

Hati Arion langsung merasa tenang ketika melihat perempuan itu. Tak menunggu waktu lama, ia bergegas melangkah mendekati sang istri. Fidelya tak menyadari kedatangannya, membuat ia dengan jahil menutup mata Fidelya menggunakan tangannya.

"Apa, sih, Ar," keluh sang istri, menepis tangannya.

"Kok, tahu ini aku?" Arion cukup terkejut Fidelya bisa menebak.

"Gue lihat dari kaca," jawab Fidelya, sedikit sewot, "ngapain lo ke sini?"

Arion menarik kursi untuk duduk di hadapan sang istri. "Niatnya mau jemput, tapi kamu pasti nggak bakal mau."

"Kenapa mikir gitu?" Fidelya menyesap kopi yang ada di atas meja.

"Ya ... biasanya, kan, emang gitu."

"Salah satu karyawan gue nggak punya kendaraan, dia dapat telepon kalau anaknya sakit. Akhirnya gue pinjemin motor gue," cerita Fidelya, "jujur, gue sedikit ngarep lo bakal datang buat jemput gue."

Arion tersenyum senang mendengarkan hal itu, merasa bahwa mereka berdua kini sudah saling terhubung meski tak berkata-kata. "Aku seneng dengernya, kita punya ikatan yang kuat."

"Kebetulan," sela Fidelya, mematahkan asumsi sang suami.

Mendengarkan itu, Arion mencebik kesal, diminumnya kopi sang istri sampai habis. "Ayo pulang, aku butuh mandi."

Arion lebih dulu bangkit dari duduk, sedikit kaget melihat Fidelya tak membantah dan ikut berdiri. Ia tersenyum lembut pada sang istri, kemudian menggenggam tangan tersebut. Fidelya mendelik, melihat ke sekitar dengan wajah tak tenang.

"Dilihatin karyawan gue. Apaan, sih," tegur Fidelya, tetapi sang suami tak menggubris dan malah menariknya untuk menuju pintu.

Kaki belum sempat berada di luar kafe, seorang perempuan malah menghadang mereka berdua. Fidelya menunjukkan sikap tak suka, ingin melewati, tetapi Alniyah cepat mencegah. Sebagai suami, Arion menarik Fidelya ke belakangnya, memberikan rasa aman pada sang istri.

"Kalau mau beli, silakan masuk, tapi kalau ada sesuatu yang mau diomongin, silakan, saya bersedia mendengarkan," ucap Arion, tegas.

Alniyah menarik ujung bibirnya, seakan meremehkan. "Sebelumnya gue iri kenapa Fidelya bisa dapat suami yang cakep, sampai-sampai mama bodoh-bodohin gue karena sempat nolak lo."

"Terus?" Arion menaikkan satu alisnya, "apa urusannya sama gue?" Kesopanannya telah hilang.

"Tapi ternyata lo cuma karyawan supermarket, yang jaga bagian alat masak," Alniyah tertawa, "seharusnya gue nggak perlu iri, dan sekarang gue bisa bilang ke mama, kalau suami Fidelya cuma orang miskin."

"Wow," ucap Arion, enteng, "dan lo bangga, ngatain orang lain miskin?"

Alniyah tersenyum jumawa. "Gue lebih ke kagum, sih, soalnya Fidelya dapetin cowok yang pantas buat dia. Miskin ketemu miskin, itu imbang, 'kan?"

Sementara itu, Arion bisa merasakan Fidelya menggengam erat tangannya. Ya, sebagai laki-laki, tentu ada sudut hati yang terluka mendengarkan sang istri dihina tepat di hadapannya. Namun, meski begitu, ia tak bisa membalas, sebab Fidelya terus memberikan kode untuk mereka pergi dari sana.

"Kalau udah selesai, kami cabut dulu," pamit Arion, menarik Fidelya untuk menuju area parkir.

"Miskin, kok, sombong," Alniyah terdengar sinis, "hati-hati, yang nikah sama lo itu anak pelacur, nggak nutup kemungkinan bakal ngikutin jejak ibunya. Kan, kalian miskin, ekonomi lemah."

Arion menghentikan langkah, hendak berbalik, tetapi Fidelya menahan cukup kuat. Istrinya menggelengkan kepala, melarang untuk membalas. Meski amarah sudah sampai di ubun-ubun, tetapi seketika menghilang ketika Fidelya mengelus tangannya. Ah, Arion memang lemah dengan sentuhan, apalagi perempuan di hadapannya ini cantik seperti malaikat.

"Pulang, yuk," bujuk Fidelya, terdengar sangat lembut.

Mata Arion berbinar sempurna, seperti anjing diberikan tulang oleh sang majikan. Tak kuat menahan gemas karena bujukan dan kelembutan sang istri, Arion dengan sigap menggendong Fidelya seperti mengangkat beras, agar mereka cepat ke mobil.

"Arion!" jerit Fidelya, terkejut dengan tingkah tiba-tiba itu.

"Nggak mau tahu, pokoknya kamu harus tanggung jawab, juniorku udah merontak!" Arion membuka pintu mobil dan menurunkan Fidelya dengan sangat hati-hati.

"Lo gila!" semprot Fidelya ketika tatapan mata mereka bertemu.

"Gila karenamu." Arion tersenyum cerah, kemudian menutup pintu penumpang dan menuju belakang kemudi.

***

Hai 😁

Jebakan Pak CEO (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang