Bab 10 : Kena Hati

1.5K 208 2
                                    

Sedari tadi Fidelya menatap Arion dengan mata memicing, tak suka, bahkan sampai bersikap judes. Namun, itu tak mengganggu Arion, sudah tiga puluh menit berlalu, ia masih sangat nyaman di sofa ruang kerja Fidelya.

"Kalau udah tahu itu bohongan doang, kenapa masih di sini?" Perempuan itu duduk di kursi kerjanya.

"Karena aku mau minta pertanggungjawaban dari kamu," jawab Arion.

Ia bersandar, menatap wajah Fidelya dalam jarak lima meter. Bisa ditebak oleh Arion bahwa perempuan itu sangat sederhana, melihat dari pakaian dan tas yang ada di atas meja kerja. Meskipun memejamkan mata, Arion tahu itu bukan barang mahal berkelas.

Padahal, dengan kekayaan yang dipunya oleh keluarga Fidelya, sudah pasti mereka sangat mudah membeli apa saja yang diinginkan.

"Gue apain lo?" Fidelya mendengkus, wajah kesalnya membuat Arion gemas dalam hati.

"Nyuri hati aku," jawab Arion lagi.

"Basi tahu nggak." Perempuan itu meraih ponsel di atas meja, terlihat tengah menghubungi seseorang.

"Ya udah, kalau nggak percaya."

Fidelya meliriknya sinis. Dalam diam, Arion memerhatikan wajah itu, meski dengan riasan tipis, nyatanya mampu membuat Arion sekali lagi jatuh cinta.

Bibir merona, hidung kecil, mata bulat, dan pipi sedikit berisi, wajahnya khas orang Asia. Di luar sana pasti banyak yang memiliki struktur wajah seperti Fidelya, tetapi Arion tetap pada satu orang di hadapannya ini.

"Pak, ini Pak Arion datang nemuin saya, katanya beliau minta pertanggungjawaban," ucap Fidelya pada seseorang di seberang telepon.

Arion penasaran, siapa yang ditelepon oleh Fidelya. Menajamkan pendengarannya, tetapi tak bisa didengarkan. Jarak lima meter terlalu jauh, itu mengapa Arion beranjak dari sofa dan mendekati perempuan itu.

Berdiri dalam jarak dekat, nyatanya Fidelya tak sadar karena masih fokus pada telepon. Kerutan di dahi itu menandakan ketidaksukaan pada obrolan, Arion semakin mendekatkan telinganya pada ponsel Fidelya.

"Siapa?" tanyanya saat Fidelya menutup telepon.

"Astaga," perempuan itu sedikit tersentak, "lo ngapain dekat-dekat gue, bikin kaget tahu, nggak."

"Parfum kamu wangi, bikin betah lama-lama dekat kamu," ucap Arion dengan sangat jujur.

Sudah lama ia tak mengeluarkan jurus-jurus seperti ini untuk mendapatkan perhatian para wanita. Sejak bertemu Fidelya, Arion meninggalkan kebiasaan lamanya. Saat ini ia berjanji akan menggunakan jurus-jurus tersebut hanya pada perempuan di hadapannya ini.

"Mungkin cewek-cewek di luar sana bakal tergoda, sayangnya gue enggak." Fidelya melengos sinis.

"Oh, baguslah, itu nunjukin kalau aku nggak salah milih kamu." Arion tersenyum cerah. "Tadi nelpon siapa?"

"Kepo lo," semprot Fidelya.

Sikap dan sifat perempuan itu berbeda jauh dari Fidelya yang pertama kali Arion temui. Namun, bukannya tak suka, ia malah semakin suka. Meski sedikit judes, wajah manisnya mampu membuat Arion melupakan segala masalah di hidup ini.

"Jadi, kapan kita tunangan?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa.

Ia duduk di atas meja kerja, menatap perempuan yang melengos bosan pada dirinya. Arion tersenyum, tangannya terangkat mengelus kepala Fidelya, meminta perhatian.

"Apaan, sih," Fidelya menepis tangannya, "berani banget lo, pegang-pegang gue."

Arion mengedikkan bahu. "Minggu depan, ya," cetusnya, "atau langsung nikah juga nggak apa-apa."

Fidelya menghela napas berat, seakan menghadapi Arion adalah beban seberat seratus ton. "Gini, ya, Pak. Gue cuma dibayar buat kibulin lo, sebenarnya gue ini miskin, yatim piatu, ceroboh, barbar, kasar, bahkan sekarang gue bisa bunuh lo—"

Arion menghentikan ungkapan gamblang itu. "Tapi aku suka," tegasnya.

Perempuan itu mengerang kesal, berdiri dan hendak meninggalkan ruangan tersebut, tetapi Arion cepat menahan. Ia tak ingin melepaskan Fidelya sebelum mendapatkan jawaban.

"Nggak, gue nggak mau tunangan sama lo!" Fidelya menolak tegas.

"Ya udah, nikah kalau gitu," ucap Arion.

"Buset, ni orang," Fidelya memutar bola mata, "eh, meskipun gue miskin, nggak bakal mau gue dijadiin istri sama lo."

"Kaya atau miskin, nggak ada hubungannya sama rasa nyaman. Kalau aku suka, ya aku kejar." Arion tidak ingin kalah, meskipun tahu hati seseorang sedang ia paksa.

Fidelya menghela napas berat lagi, melepaskan genggaman tangan Arion. "Gue anak pelacur. Masih mau lo sama gue?" tantangnya.

Arion mengangguk. "Mau kamu bilang anak ini, anak itu, aku tetap mau sama kamu."

Anggap saja ia sebagai budak cinta, Arion tidak peduli. Baginya, mendapatkan perempuan ini lebih penting dari yang lainnya. Lihat saja, bahkan ia meninggalkan sang ayah yang masih sakit, hanya untuk bertemu dengan Fidelya.

"Karena lo percayanya gue anak Pak Dava yang kaya raya. Sayangnya, enggak."

Arion berdecak. "Masih aja, cari-cari alasan biar aku berhenti ngejar kamu," ia mengulas senyum lembut, "siapa wali kamu? Aku mau minta izin ke mereka."

***

Vote dan komeeeen

Jebakan Pak CEO (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang