Bab 15 : Protes

1.3K 168 0
                                    

Pria itu menghela napas lelah setiap kali melihat wajah Arion. Sejujurnya itu sangat membuat ia frustrasi, sebab seorang ayah saja tidak bisa menghancurkan batu penghalang tersebut, apalagi Arion yang baru saja masuk dalam kenalan Fidelya.

"Tapi Om Dava setuju, 'kan?" tanyanya, untuk yang kesekian kali.

"Ya ... setuju, tapi kembali lagi ke Fidelya."

Masih dengan jawaban yang sama. Arion memang sudah kehilangan ide untuk membuat Fidelya luluh, berkali-kali ia tanya kepada orang yang berpengalaman, bagaimana caranya membuat orang yang dikejar, balik melihat ke arah kita.

Jawaban mereka sama, yaitu jangan menyerah. Mungkin memang Arion belum sampai di kata menyerah, hanya saja ide di kepala sudah habis. Mencoba mencari apa yang disukai Fidelya, tetapi yang ditemukan hanya sebuah kehampaan. Ya, Fidelya tak memiliki teman dekat, layaknya saudara atau teman curhat.

"Jangan nanya apa yang disukai anak Om. Jujur, sebagai ayahnya, Om juga nggak banyak tahu tentang Fidelya," ungkap Kadava.

Pria itu menghela napas berat, ada pilu di wajah, bahkan kini mata itu mulai berkaca-kaca. Arion tahu, hubungan keduanya tak begitu baik. Melihat betapa keras kepalanya Fidelya, tentu itu menjadi pemicu dari rasa sakit yang diperlihatkan oleh Kadava.

"Kurang lebih nasib kita sama," Kadava berusaha untuk tersenyum, "kamu baru berjuang sebulan ini, Om sudah bertahun-tahun."

Bibir Arion membentuk garis lurus saat menyadari bahwa pria di hadapannya ini sama sekali tak bisa membantu. Dalam ruang tamu yang megah ini, Arion membuang punggung ke sofa, rencana agar mereka berdua terlihat tengah di hotel dan membuat Kadava naik darah, nyatanya sama sekali tidak berhasil.

Kadava mengaku tak berkutik ketika berhadapan dengan dinginnya Fidelya. Bagi seorang ayah, menasihati anaknya adalah tugas utama, tetapi pria itu benar-benar kehilangan kesempatan untuk melakukannya. Arion tahu betul bagaimana perasaan beliau.

Sama dengannya, orang tua seharusnya menjadi tempat pertama bagi anak untuk berlari meminta perlindungan. Namun, Arion tak pernah merasakan itu sejak kecil. Kedua orang tuanya gila pekerjaan, bahkan anak dinomorduakan.

Memberontak hari ini juga, rasanya tidak akan puas, sebab Arion telah dewasa. Lebih banyak rasa maklum dan mengerti daripada ingin protes. Namun, nyatanya keinginan untuk tak bergantung pada mereka, malah kebanyakan diartikan seperti itu. Ya, biar bagaimanapun, sebelum tidur dalam keabadian, Arion ingin merasakan perhatian dari kedua orang dewasa itu.

"Oh ya, katanya dalam waktu dekat ini kamu bakalan gantiin posisi ayahmu?" tanya Kadava.

Arion menautkan alis. "Maksudnya?"

"Kamu, jadi CEO di perusahaan ayahmu," jelas beliau.

"Hah?" Arion hanya bisa melongo, kepalanya masih lamban untuk mengerti.

"Loh, kok kamu kaget?"

"Ya-" Ia mengeratkan bibir, kemudian membuang napas kesal. "Pasti ayah ngelakuin sepihak," gerutunya.

Arion bangkit dari sofa, mengucapkan pamit pada Kadava yang dibuat bingung. Tujuannya satu, yaitu rumah orang tuanya. Kesal bukan main, lagi-lagi memutuskan tanpa bertanya kesiapan, mereka selalu saja memaksa.

***

Arion mengepal tangannya, menatap tajam ke arah pria yang kini terduduk di kursi roda. Meskipun tahu kondisi beliau tidak dalam keadaan baik-baik saja, itu tidak mempengaruhi kemarahan yang ingin segera dilontarkan.

"Apa maksudnya ini?" tanyanya, penuh penekanan.

Safir menghela napas berat. "Udah saatnya, Ayah nggak punya siapa-siapa selain kamu."

Arion berdecak. "Adik aku juga gitu, saat aku tinggalin kuliah," ia menarik napas dalam, mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan kata, "dia nggak punya siapa-siapa, selain kalian, orang tuanya."

"Apa maksud kamu?" Safir menatapnya intens.

"Saat aku balik, dia berada di pergaulan yang nggak sehat. Kalian di mana?"

"Itu kemauannya-"

"Nggak bakal terjadi kalau kalian didik dengan benar," Arion kecewa mendengar jawaban sang ayah, "kalian orang tua, perusahaan bukan anak kalian."

"Tapi kami bekerja untuk anak," sela Safir.

"Dan pekerjaan itu juga yang hancurin masa depan adik aku!" Arion mengeratkan bibir, menatap penuh kebencian pada beliau. "Coba bayangin sebentar aja, seandainya dia tumbuh dengan kasih sayang, pasti sekarang dia belum jadi istri orang, banyak pencapaian yang didapat. Bukan ngurusin suami dan anak kayak gitu, dia masih muda, Yah!"

"Tanyakan ke Alin, kenapa mau begitu, itu pilihan dia." Safir membalas dengan tegas.

Arion mengeratkan gigi, tangan mengepal hingga buku-buku memutih. "Perdebatan ini nggak bakal selesai kalau Ayah ngelak mulu. Yang jelas, Alin anak kalian, dia tanggungjawab kalian. Apapun yang terjadi padanya, semua itu karena kalian."

Tak ada yang bisa dikatakan lagi, Arion segera angkat kaki dari ruang kerja sang ayah. Ini perdebatan kesekian, tetapi sepertinya baru kali ini Arion mengatakan dengan gamblang bentuk kekecewaannya pada kelakuan kedua orang dewasa itu.

Tanpa ragu, ia membanting pintu tersebut dengan sangat keras. Asisten rumah tangga yang melintas hanya bisa mengelus dada, tak berkomentar apapun. Baru saja ingin berteriak kesal, ponsel di saku celananya bergetar. Arion mengerang, tetapi tangan bergerak mengeluarkan ponsel tersebut.

Nama adik iparnya terpampang jelas di sana. Segera ia menerima telepon tersebut, khawatir terjadi sesuatu pada sang adik. Ya, di dunia ini perempuan yang masih sangat dipedulikan olehnya hanyalah Dialinda. Meski nanti jika Fidelya akan menjadi istrinya, Arion hanya perlu menambahkan perempuan itu berada di sebelah Alin, agar kedudukan mereka bisa setara.

"Kenapa?" tanyanya, sedikit judes sebab masih terbawa emosi yang tadi.

"Bang, tadi Fidelya nelpon, katanya dia sakit, nggak ada yang bisa diminta bantu selain aku."

"Di mana alamatnya?" Tanpa menunggu lama, Arion segera menuruni tangga.

"Nah, itu dia, Bang, aku juga nggak tahu."

Ia menghentikan langkah. "Hah? Gimana bisa?"

"Dia baru pindah kos, nggak ada yang tahu alamatnya."

"Lo tanya dong, ke Fidelya."

"Habis ngasih tahu sakit, dia nggak balas chat, kayaknya udah pingsan."

"Huss, bisa-bisanya lo ngomong gitu," Arion mendengkus marah, "lo di mana sekarang?"

"Di rumah, udah malam gini, ngapain aku keluyuran. Ya kali, aku ninggalin Alin dan Vano."

"Bagus, tetep di situ. Awas aja lo ninggalin adik gue buat bantu perempuan lain, lo bakal dapat balasan dari gue," ancamnya.

Arion tidak main-main, sebab mengetahui fakta bahwa Fidelya mencintai adik iparnya ini, membuat emosi semakin memuncak. Alin dan Fidelya ternyata sama saja, mencintai orang yang di mata Arion sangat cupu. Ya, ia berpikir begitu sebab Keyvano seakan tak punya niat untuk bertengkar dan membuat orang lain takluk padanya.

"Itu makanya aku nelpon Bang Dav, biar bisa bantuin Fidelya. Kan, lumayan, kalian bisa makin akrab." Keyvano tertawa kecil di seberang sambungan.

Arion mendengkus, langkahnya pasti keluar rumah. Bisa dirasakan tatapan seseorang di balik punggung, sebabnya ia menengok ke belakang. Sang ayah menghela napas berat ketika bertatapan dengannya. Arion membuang pandangan, kembali melangkah ke luar rumah sembari mencoba untuk menghubungi Kadava.

***

Love you gess 🤣

Vote yau

Jebakan Pak CEO (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang