PROLOG

11 2 0
                                    

Terdengar jelas ditelinga Menul dari tv ruang kamar, sebuah dialog sakral nan lugas yang hanya diharapkan terjadi sekali dalam hidup. "Bagaimana? Sah?...Sah!...Sah!...Alhamdulillah."

Hari itu adalah hari pernikahan Menul dengan lelaki pilihan yang ia cintai bernama Dr. Nakula Putra Sadewa, SpJP. Seorang dokter spesialis penyakit jantung dan yang berhubungan dengan pembuluh darah manusia. Ia berumur 35 tahun, lebih tua 10 tahun darinya, belum pernah pacaran kecuali dengan Menul karena terlalu fokus pada studi dan pekerjaan. Tidak ada kisah menarik di dalamnya, semua berjalan begitu saja saat mereka di comblangi. Entah bagaimana pria kaku dan gadis kutu buku itu bisa terpaut dalam ikatan cinta. Semua itu tumbuh begitu saja, hingga mereka berduapun hanya dapat memahaminya sabagai suratan takdir.

Hari itu Menul sengaja didudukan dalam sebuah kamar ditemani dua sahabatnya sambil menunggu lelaki yang kini telah halal baginya menjemput untuk masuk dalam prosesi acara berikutnya.

Mereka adalah sahabat saat sama-sama kuliah di jurusan kedokteran, dan secara kebetulan diterima di rumah sakit yang sama. Mereka meyakini sebagai persahabatan yang terpaut karena sebuah huruf. Nama mereka semua berawal dari huruf 'D', Dezalia, Diva dan Denisa.

Terdengar pintu kamar terketuk beberapa kali, diikuti suara riuh candaan dibelakangnya, "Bilang dong...istriku sayang, kakanda datang menjemput, soalnya dah nggak tahan nih...ha-ha-ha." Dan berbagai lelucon lainnya sambil menunggu pintu terbuka.

Pintu tidak langsung terbuka, karena semua yang berada dalam kamar turut tertawa. Sepertinya mereka ingin pintu terbuka dalam suasana sakral, namun lelucon itu sukar membuat mereka untuk terdiam.

"Girls...girls, come on focus please. Relax and take a deep breath, one...two...three, whuaha-ha-ha," salah satu teman Menul yang selalu berbahasa Inggris berusaha untuk mengajak kembali serius, namun bukannya terdiam malahan semakin menjadi. Akhirnya pintu mereka buka, tiga dengan gaya sok tenang dan sakral.

Dari balik pintu terlihat Nakula yang selalu terlihat gagah nan berkharisma dimata Menul meski sebagian wajahnya tertutup masker, apalagi saat ia menggunakan jubah putih dokternya. Ia melangkah pelan sambil tersenyum malu-malu. Saat mulai mendekat, terlihat dibelakangnya seorang lelaki berumur 40 tahun terduduk dikursi roda tersenyum bahagia memandang Menul.

"Sayang...bolehkah aku memeluknya lebih dulu?" ucap Menul pada Nakula karena mulai saat ini hanya Nakula yang berhak untuk memberi izin. Nakula tahu lelaki siapa yang istrinya maksud. Ia  memandang Menul dengan tatapan hangat lalu menggenggam tangan Menul lembut seraya berkata, "Sayang, kamu tidak perlu meminta ijin untuk memeluk lelaki yang luar biasa itu. Kamu tahu... sejuta cintaku padamupun tidak akan pernah dapat menggantikan apa yang telah ia berikan padamu. Peluklah dia, jangan biarkan ia menunggu lebih lama." 

Itulah kalimat terindah yang pernah keluar dari mulut Nakula hingga Menul merasa beruntung telah menjadi miliknya dan semakin menyadari telah berada dalam kasih sayang dua lelaki yang hebat.

Menul melangkah pelan menuju pada lelaki dikursi roda itu dan langsung tersungkur lemah bersimpuh dikedua kakinya. "Ayah...," hanya itu kalimat yang mampu keluar dari mulutnya karena tak lagi kuasa menahan tangis. Air matanya meluncur layaknya air pegunungan yang mengalir deras. Tidak peduli dengan semua make-up yang telah terbalur indah di wajahnya, yang Menul inginkan hanyalah meluluhlantakkan seluruh isi hati. Sebuah curahan yang terlalu indah terucap hingga hanya tangisan yang dapat menjadi pembawa syairnya.

"Kini mas bisa melihat terangnya bintang dan kamupun bisa melihat indahnya dunia dengan begitu jelasanya, hiduplah dengan penuh syukur dan senyum, karena hanya itu impianku yang tersisa."

Sebuah kalimat yang menggetarkan seluruh tubuh Menul hingga semakin terpuruk lunglai di kedua kakinya dengan deraian air mata yang terus berderai.

"Dan kini aku melihat jelas cahaya yang memancar dari bumi, ayahku...kakakku tersayang." Hati Menul berucap dalam balutan tangisan bahagia.

Penasaran dengan kisah selanjutnya? Lanjut yuk ke BAB I, tapi jangan lupa vote dan starnya ya.

Kunamakan Kau BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang