Bab 4 "Januari 2000 - Kukira terang nyatanya kelam"

3 1 0
                                    

Hari silih berganti mendesak Karyadi untuk terus melangkah tanpa peduli tangisan. Rengekan Menul yang terus meminta pulang kerumah tidak lagi terdengar. Karyadi tidak lagi tahu sudah berapa lama waktu berjalan. Tidak mengenal lagi Senin, Selasa dan sebagainya karena baginya nama hari hanyalah satu yaitu "derita."

Langkah kaki tak berujung itu akhirnya menghantarkan Karyadi pada daerah Tanah Abang. Mujur bagi Karyadi karena bertemu Mang Jajang yang memperkenalkannya pada seorang lelaki yang kerap dipanggil sebagai Bang Mandor oleh orang-orang hingga ia bisa menjadi porter di Tanah Abang.

Meski pendapatannya seperti tak sebanding dengan apa yang ia rasakan, badan terasa remuk, kulit semakin legam dan bahu melepuh karena beratnya beban yang dipikul, namun Karyadi sangat semangat menjalani pekerjaannya. Baginya ini sejuta kali lebih baik dibanding selalu harus bergantung pada belas kasihan para pelintas jalan.

Malam hari kini terlihat begitu terang bagi Karyadi meski bintang tetap enggan menyapa karena tebalnya awan. Ia bisa membawa Menul pada kehidupan yang lebih nyaman, tidur terlindung atap meski beralaskan tikar, makan tanpa harus menunggu tangis dan tidak perlu bermandikan debu jalan. Kini ia bisa kembali menaruh impiannya di langit, ia telah bayangkan Menul berseragam sekolah bahkan lebih jauh lagi, dibayangkannya Menul telah sukses menjadi wanita karir dengan penampilan mewah seperti yang selalu ia lihat di majalah-majalah. "Ah cantiknya Menul...suatu hari kamu pasti turut menerangi langit ini dengan sinarmu," ucapnya dalam alam imajinasi.

Karyadi beranjak dari posisi tidurnya perlahan agar Menul tidak terbangun. Dijamahnya kaleng bekas biskuit yang ia dapat dari jalanan. Didalamnya ada sejumlah uang yang sengaja ditabung oleh Karyadi untuk biaya sekolah Menul.

Pagi hingga petang Karyadi bekerja, sementara Menul dititipkannya pada warung mak Ijah sekaligus pemilik sepetak ruang yang Karyadi sewa. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda keberatan dari raut wajah mak Ijah, karena Menul memang sangat menggemaskan. Kulitnya putih, bulu matanya lentik ditambah pipinya yang masih tembem semakin membuat siapapun akan merasa gemas. .

Siang hari saat Karyadi tengah beristirahat, dilihatnya pasangan muda-mudi yang sedang bercanda sedikit mesra. Semua itu mengingatkan pada Minarsih kekasihnya. "Minarsih, bersabarlah mas tengah berjuang agar bisa menjemput dirimu dan mengarungi hidup bersamaku di sini," bisiknya dalam hati.

"Woi, bengong aja lu, ada korek nggak, mulut asem nih, ngudut dulu kita'." suara porter lainnya menghardik lamunan Karyadi.

"Asem ya makan gula," balas Karyadi becanda tanpa memberikan korek api karena Karyadi memang bukanlah perokok.

Kehidupan siang berjalan sama, sebuah rutinitas yang tidak menarik, begitupun kehidupan malamnya, namun malam ini ada yang sedikit berbeda karena Karyadi mulai menorehkan tinta pada secarik kertas untuk dikirimkan pada Minarsih, perempuan yang sangat dirindukan itu.

"Jakarta 21 Januari 2000.

Kepada kekasihku Minarsih,

Berikut jeritan rinduku yang diwakili oleh secarik kertas yang kukirimkan padamu ini.

Betapa mas sangat menantikan hari-hari bersamamu, namun apa daya, keadaanku belum memungkinkan. Mas hanya berharap kepercayaanmu untuk menunggu Mas pulang lalu membawamu.

Dari Aku yang selalu merindukanmu – Karyadi."

Begitulah sebagian isi surat cinta Karyadi kepada keaksihnya Minarsih di kampung. Ia terus memeluk kertas itu hingga lelah membawanya masuk ke alam mimpi.

Keesokan harinya, semua kejadian bergulir seperti sebelumnya, memikul, memikul dan terus memikul. Tapi tidak ada secercah keluhan yang keluar dari mulut Karyadi, karena beban barang di pundaknya seribu juta lebih ringan dibanding beban hidup saat ia pertama berada di Jakarta. Rasa lelah pasti menghampirinya namun semua itu sirna selaras dengan bayangan tawa Menul dan wajah kekasih.

Kunamakan Kau BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang