Bab 2 "November 1999 - Awan itu terlalu tebal menutup bintang"

3 2 0
                                    

Hujan turun deras membasahi cakrawala di tengah malam saat kali pertama Karyadi dan Menul menginjakkan kakinya di Jakarta, tepatnya di pasar Senen.

Suasana terdengar riuh serta terlihat ramai dipadati para penjual, pemasok dan pembeli yang menyatu dalam hiruk-pikuknya pasar. Karyadi melangkahkan kakinya kearah Tarso yang telah lenggang karena seluruh barang telah diturunkan. Kini Menul yang sejak diperjalanan tengah tertidur pulas telah kembali berada dalam gendongan hangat Karyadi setelah sebelumnya dibiarkan begitu saja tertidur pulas di dalam kendaraan karena membantuk Tarso menurunkan barang.

"Tarso, terimakasih ya, sudah membantuku sampai sejauh ini," ucap Karyadi. Tarso terdiam, mengangguk lalu memasukkan sejumlah uang kedalam saku Karyadi. "Buat bekel di Jakarta," balas Tarso.

"Eh, nggak usah, aku nggak mau merepotkan lebih banyak lagi," seru Karyadi berusaha menolak, tetapi ia tak kuasa untuk mengambil uang itu dari kantongnya karena kedua tangannya tengah menggendong Menul. Saat itu Tarso hanya tersenyum sambil menaiki truknya. Belum sempat Tarso menutup pintu, "Tarso, aku titip Minarsih," teriak Karyadi. "Tolong sampaikan kabar bahwa aku baik-baik saja." Tarso mengangguk lalu menjamah pintu truknya.

"Oh, ya jangan mudah percaya pada orang, jaga Menul dan uangmu baik-baik," ucap Tarso dari jendela truknya sembari melambaikan tangan kearah Karyadi.

Tidak lama setelah mereka terpisah, hujan mereda. "Jakarta, aku datang," bisik Karyadi mantap lalu mulai bergerak melangkahkan kaki dengan tegas kearah tanpa tujuan ditemani degupan jantung yang berdebar keras bagai genderang perang penyemangat para ksatria di medan perang.

Perlahan tapi pasti rasa takut mulai menyelimuti Karyadi. Langkahnya mulai melamban seolah ada beban besar dipundaknya. Kini ia mulai merasakan kesendirian ditengah gempita ibu kota yang tak pernah tidur. Keyakinannya mulai pupus, kini rasa takut mulai bergerak merebak kalbu. Rasa ragu bergerak mengendap lalu berbisik pelan di benaknya seolah menyadarkan dan menyalahkan tindakannya yang gegabah.

Kini langkahnya benar-benar terhenti, lalu terduduk lunglai di pinggiran gedung yang belakangan ia ketahui bernama Plaza Atrium Senen. Didekapnya Menul yang mulai meregang-regang agar tidak terbangun dan tetap merasa hangat.

Dibenaknya mulai tergambar wajah kedua orang tuanya, kekasihnya yang berjanji menunggu dan sahabatnya Tarso sang pelipur lara. Air matanya kini mengalir membasahi pipi. Bibirnya bergetar seolah hendak menahan suara tangis yang begitu kuat mendobrak. Wajah belianya yang selama ini tertutup topeng kedewasaan terkuak begitu saja. Karyadi kini berpasrah memuaskan diri dalam genggaman tangisnya hingga mata tak sanggup lagi untuk bertanggang walau sedetik, lalu membawanya pada alam tidur.

Rasanya belum lama Karyadi menikmati alam mimpi, tiba-tiba ditelinganya sudah terdengar suara klakson dan kendaraan yang menderu-deru hingga menariknya kembali ke alam sadar . Matanya masih tertahan dari terik sinar Matahari yang menusuk mata namun dipaksakannya untuk melek karena suara rengek Menul yang tengah lapar dan haus.

Karyadi tersenyum kearah Menul. "Lapar ya, ntar ya masih ada ubi yang kita bawa dari kampung," bujuknya. Karyadi menolehkan kepalanya hendak meraih tas yang berisi perbekalan , berkas penting, baju seadanya dan sejumlah uang tabungan. Tapi betapa kagetnya ia saat tas yang dibawa tak juga berhasil diraih.

"Ya Allah, dimana tasku," teriaknya dalam hati. Kepanikan melukis wajahnya. Ia terus mencari dan mengingat-ingat. Hingga..."Ah...pasti dicuri saat aku tertidur," ucapnya lagi dalam hati sambil memegang kepala dengan kedua tangannya.

Kepanikannya semakin menjadi saat suara rengekan Menul bertambah kuat. "lapal, mamam, mo'..mamam," rengeknya dengan dialek cadel khas anak-anak sambil menguncang-guncangkan tubuh Karyadi dengan kedua tangan mungilnya. Karyadi berusaha mencari akal hingga tak sempat lagi menyesali tasnya yang hilang. Ditengah kepanikan, Karyadi teringat sejumlah uang yang dimasukkan oleh Tarso sahabatnya.

Kunamakan Kau BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang