Bab 12 "Langkah baru menuju bintang" XIII

1 0 0
                                    

Perjalan pulang dalam bis antar provinsi itu terasa sangat melelahkan. Menul tertidur pulas. Karyadi membiarkan kenyamanannya tersandra oleh kepala Menul yang menjadikan pahanya sebagai bantal. Karyadi terus membelai kepala Menul seperti saat Menul masih berumur tiga tahun. Di mata Karyadi, Menul tetaplah gadis kecilnya.

"Tersenyumlah bintangku, ceriakanlah harimu, kelak kamu akan memiliki kisahmu sendiri yang penuh kebahagiaan," bisik Karyadi dalam hati sembari terus membelai lembut kepala Menul hingga iapun tak kuasa menahan dirinya dari tarikan mimpi.

Bis telah berhenti di terminal pulogadung. Sejenak Karyadi berdiri mengamati sekeliling lalu membuka dompetnya seperti tengah mempertimbangkan sesuatu. "Menul kamu lapar?" tanya Karyadi. Menul menggelengkan kepala namun perutnya berbunyi keras. Karyadi tersenyum memperhatikan adiknya lalu mengajaknya untuk pergi ke warung bubur sekitar terminal. Menul agak bersikeras menolak. Ia khawatir hal itu akan menambahkan kesulitan pada kakak yang dipanggilnya sebagai ayah itu olehnya.

"Aku belum lapar, bisa makan di asrama kok," ujar Menul menutupi rasa laparnya sambil tersenyum. Karyadi yang memahami kekhawatiran adiknya itu kembali membujuknya. "Udah tenang aja, kakak punya uang tabungan banyak kok, yuk," tanggapnya lalu menarik tangan Menul lembut menuju gerobak bubur ayam.

Terlihat senyum di bibir Karyadi, namun hatinya seperti teriris oleh pisau tajam, ia menangis menyadari Menulnya telah dewasa hingga bisa memahami kesusahannnya. "Maafkan kakak telah membuat kamu menderita, tapi kakak janji untuk tidak menyerah," ucapnya dalam hati.

Merekapun bersantap, Menul tampak bahagia menyantap makanannya namun tiba-tiba, "aku mau tetap manggil ayah nggak mau kakak," ucap Menul ditengah-tengah perbincangan random. Karyadi tersenyum memandang adiknya dan membalasnya dengan sebuah anggukan.

Sembari menyantap makanan Karyadi berupaya mengingat-ingat isi tabungannya, ia perkirankan ada sekitar lima juta rupiah. Iya sadar uang lima juta rupiah tidaklah cukup untuk hidup di Jakarta, karenanya ia terus memutar otak agar uangnya dapat berputar.

Beberapa malam kemudian di kontrakan kecilnya, ia terbangun dari tidurnya di sepertiga malam. Otaknya terus bekerja mencari jalan keluar meski hasilnya tetap buntu seolah tanpa jawaban. "Apa yang bisa dilakukan olehku, pengetahuanku hanya sebatas mengangkut barang dan itu tidak mungkin lagi aku lakukan. Lama ia berpikir hingga imannya berhasil mengetuk hatinya untuk bersujud pada Sang Khalik dan meminta pertolongan.

Pagi hari Karyadi sudah berjalan menelusuri jalan sekitar Tanah Abang berharap mendapat jalan keluar atas kesulitan yang ia alami. Berhari-hari kegiatan Karyadi tidak berubah, terbangun di sepertiga malam lalu sholat Tahajud, setelah sholat Subuh ia sudah berada di jalan namun tetap saja belum mendapatkan jawaban apa-apa.

Hingga suatu hari, "Mas...bisa bantu saya nyeberang?" suara itu menyadarkan lamunan Karyadi. Ternyata seorang lelaki tua tuna netra meminta tolong karena hendak menyebrang jalan. Karyadi bergegas berdiri dan menuntun orang itu menyeberangi jalan. Saat tengah menenteng lelaki tuna netra itu tiba-tiba Karyadi tertawa.

"Kenapa tertawa mas?" tanya lelaki itu lembut." Karyadi berusaha menghentikan tawanya bermaksud menjelaskan khawatir lelaki itu tersinggung. "Seandainya bapak tahu, saya ini buntung, kaki saya tinggal satu tapi sok mau menuntun orang.

"Oh, menuntun itu-kan nggak butuh kaki tapi butuh mata." jawab lelaki tua itu santai. "Tapi kalo nggak punya kaki gimana mau jalan pak," jawab Karyadi sambil bercanda. "ya pake kakinya yang buta he-he. Coba mas pikir, kenapa orang buta mampu berjalan dalam gelap tapi yang mengaku punya mata harus bergantung pada sinar untuk berjalan, gimana tuh ceritanya." Jawab lelaki itu. Karyadi tidak menjawab meski merasakan dalamnya kalimat itu.

"Nah sudah sampai di seberang jalan pak," ucap Karyadi. "Oh iya terimakasih, tapi sebelum berpisah saya traktir makan mau? Saya kebetulan belum makan, nggak enak rasanya makan sendiri," tanggap lelaki tua itu sembari menawarkan makan. "Sudah pak. Sudah kenyang," jawab Karyadi. "Sudahlah yuk, saya ini tunanetra bukan tunarungu , dari tadi saya denger nyanyian suara perut mas, he-he, lagi pula setiap kejadian dan pertemuan itu pasti sudah diatur oleh Allah SWT, " jawab lelaki tua itu hingga Karyadi tidak enak untuk menolak ajakannya.

Kunamakan Kau BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang