Bab I "30 Juli 1999 - Selamat tinggal kekasih"

8 1 0
                                    

"Cublak cublak suweng...Suwenge teng gelenter..." suara lantunan lagu Cublak-Cublak Suweng terdengar sayup. Suara itu berasal dari kerumunan anak-anak yang tengah memainkan permainan Cublak-Cublak Suweng. Mereka terlihat sangat gembira meski hanya beralaskan tanah yang tidak terlalu luas.

Tidak jauh dari lokasi anak-anak bermain, terlihat seorang remaja berumur 18 tahun tengah duduk di serambi rumah bambu sambil tersenyum sendiri memperhatikan salah satu anak gadis berumur 3 tahun dikerumunan itu sebagai anak bawang yang ia panggil dengan nama Menul.

Dia adalah Karyadi, seorang pemuda berpostur tubuh kurus, berkulit legam karena kulit putihnya dipaksa akrab dengan terik matahari setiap bekerja dipematang sawah yang bukan miliknya.

Dibalik senyumnya tersirat sebuah keresahan setiap kali pandangannya diarahkan pada sekelompok ibu-ibu berumur muda, separuh baya dan bahkan manula yang tengah berbaur duduk berbincang tanpa sedikitpun tangan mereka terlihat rehat karena terlibat dengan pekerjaan yang seolah menjadi tanggung jawab mereka. Ada yang tengah memilah gabah dari beras, mengupas bawang, menggendong anak bahkan sekedar membantu mencarikan kutu.

"Hei Kar, ono opo toh, kok nglamun, sambet runyam," suara lelaki sebaya mengagetkan Karyadi. "Piye...piye ngomong karo aku. Pokoke ono Tarso, masalah bablas," lelaki itu melanjutkan dengan nada bicara narsis sambil menepuk dadanya.

Tarso adalah sahabat Karyadi. Mereka satu almamater di SMP namun yang membedakannya adalah Tarso mampu melanjutkan sekolahnya ke bangku SMA sementara tidak dengan Karyadi. Anak berprestasi, berkulit putih dan ganteng bernama Karyadi itu tidak seberuntung Tarso karena orang tuanya yang miskin meninggal saat ia baru lulus SMP, dan harus tinggal di keluarga ayahnya yang juga miskin hingga tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Kulitnya yang putih kini telah menjadi legam terbakar sinar Matahari saat bekerja di pematang sawah.

"Sambet? Sambet piye...wong memedine kancaku dewe', ha-ha. Lagian kalo urusanku diserahe koe, modar kabeh, ha-ha-ha. Tarso turut tertawa geli sekaligus lega karena candaan itu menunjukkan sahabatnya dalam kondisi baik-baik saja.

"Oh iya, opo rencanamu setelah lulus ini?" tanya Karyadi dengan nada lebih serius. Tarso terdiam sejenak agak terkaget dengan sikap sahabatnya yang tiba-tiba serius.

"Lanjut usaha bapakku, nganter muatan ke Jakarta," tanggapnya dengan nada yang kini serius.

"Piye Kar?" lanjutnya dengan pertanyaan.

"Aku turut koe ke Jakarta," ucap Karyadi dengan nada lugas.

"Lah? Sek..sek kok tiba-tiba? Weleh iki pasti kesambet. Lantas piye dengan si Menul?" tanya Tarso terkaget.

"Aku mau kerja di Jakarta, Menul turut karo aku," lagi-lagi Karyadi menanggapi dengan nada lugas.

"Lah sopo sing momong?" tanya Tarso bingung.

"Yo aku dewe'," jawab Karyadi masih dengan nada lugas.

"Guys bahasa Jawa campur-campurnya sampai disini aja ya, kita lanjut bahasa Indonesia,"

"Kata orang, Jakarta itu keras, yang lemah pasti tergiling, apalagi kamu cuma lulusan SMP, apa nggak mau dipikir-pikir lagi Kar?" Sebenarnya ini bukanlah sebuah pertanyaan, tapi upaya Tarso untuk mencoba menyadarkan sahabatnya.

Karyadi tidak langsung menjawab. Ia lebih memilih untuk tidak mendebat pandangan Tarso, karena ia sendiri belum pernah benar-benar tahu tentang Jakarta.

Karyadi terus terdiam lalu pandangannya ia arahkan kembali kepada sekelompok wanita tadi. Tarso hanya tertunduk tidak mau bicara lebih jauh lagi khawatir niat baiknya itu dianggap salah oleh Karyadi.

"Tar, coba kamu lihat wanita-wanita itu, menurut kamu mereka benar-benar tertawa karena bahagia?" tanya Karyadi tiba-tiba sembari menunjukkan keberadaan para wanita yang dimaksud dengan menggunakan gerakan kepalanya sebagai alat penunjuk. Tarso yang tadi hanya menunduk kemudian mencoba memperhatikan sekelompok Wanita yang dimaksud oleh Karyadi.

"Yah...mungkin saja mereka bahagia." Tarso mencoba menjawab meski tidak benar-benar meyakini dengan jawabannya.

"Iya Tarso, kamu betul. Semua itu hanya mungkin. Jika memang benar karena bahagia, itu bagus. Tapi bagaimana jika semua itu terpaksa mereka lakukan karena tidak punya pilihan, atau bagaimana jika mereka tersenyum karena mereka belum pernah tahu ada dunia dibelahan lain sehingga bahagianya hanya terbatas pada sepetak tanah itu. Atau..." Belum sempat Karyadi melanjutkan kalimatnya, Tarso sudah memotongnya.

"Iya aku ngerti, kamu nggak mau tertahan disini seperti mereka, iya-kan?" pungkas Tarso.

"Kamu salah Tarso, ini bukan tentang aku" balas Karyadi membalas memotong. "ini tentang Menul, aku nggak mau dunia Menul terbatas pada sebidang tanah ini, kamu tahu Menul segalanya bagiku Tar. Hanya dia yang tersisa untukku. Dulu aku punya mimpi menjadi seorang tentara di Angkatan Udara, aku ingin melihat dan turut menjaga Bumi Nusantara ini dari angkasa, tapi aku tahu mimpi itu sekarang tidak akan pernah tercapai, kini mimpiku hanya tentang Menul dan wanita yang kucintai," jelas Karyadi sambil meneteskan air mata.

"Tapi.." Sebenarnya Tarso ingin mengatakan kenapa tidak Karyadi saja dulu yang berangkat, jika berhasil barulah jemput Menul, tapi kalimat itu tidak keluar dari mulutnya, ia sangat kenal watak Karyadi yang keras, lagi pula Tarso memahami itu adalah bentuk keresahan dari seorang Karyadi. Bagi Tarso setiap orang berhak mendefinisakan arti bahagia. Sebagaimana para wanita itu mengartikan kata bahagia maka Karyadipun punya arti sendiri tantang itu.

"Baik Kar, aku dukung kamu." Kedua sahabat yang belum mempunyai banyak pengalaman tentang kehidupan itupun saling berpelukan.

Beberapa bulan kemudian di Sabtu malam yang cerah, terdengar suara hiruk pikuk pasar kaget. Sepasang kekasih terlihat mesra berjalan sembari bergandengan tangan. Sesekali langkahnya mereka hentikan di salah satu pagar yang mengelilingi arena permainan sekedar melihat keseruan orang-orang yang menaikinya.

Sepasang kekasih yang tengah memadu kasih itu adalah Karyadi dan Minarsih.

"Mas Kar...," ucap Minarsih dengan lembut dan sedikit malu-malu. Separuh hatinya diliputi kecemasan khawatir ada kata putus keluar dari mulut Karyadi. Namun separuh hati lainnya berharap keluar kata-kata indah berupa ajakan Karyadi untuk membawa hubungan kasih pada jenjang yang lebih kuat. Gelora asmara masa muda menjadikan hubungan dan pemikiran mereka layaknya pasangan dewasa yang siap masuk pada jenjang pernikahan.

"Katanya ada yang mas mau sampaikan padaku," lanjut Minarsih lagi. Karyadi yang tengah bersandar pada besi pagar arena permainan komedi putar sederhana, menatap kekasihnya itu dengan lembut lalu mengajaknya mencari tempat duduk di pepohonan yang tidak jauh dari lokasi itu agar dapat duduk tenang bersandar.

"Aku mau pergi ke Jakarta dik," Karyadi memulai kalimatnya. Bagai tersambar geledek Minarsih mendengarnya, hampir saja air matanya keluar, namun berusaha ditahannya. "Kenapa mas?" tanyanya resah.

"Aku ingin maju dik, hingga suatu hari dapat membahagiakan kamu, dan Menul," lanjut Karyadi yang tahu bahwa kekasihnya itu tengah menahan air mata. Kini suara isak tangis mulai terdengar pelan dari gadis itu.

"Lalu bagaimana dengan aku mas, kenapa begitu tiba-tiba mas," tanyanya dengan raut wajah gelisah bagai seorang yang terlepas dari genggaman hingga terpelosok masuk kedalam jurang penuh belukar tajam. Hatinya tiba-tiba terasa terhempit batu berduri hingga gempita malam itu tak lagi menarik di telinganya.

"Itu tidak akan mengurangi cintaku padamu dik, justru keberangkatanku karena begitu besar cintaku padamu hingga tidak rela melihatmu susah," jawab Karyadi berusaha meyakinkan sambil menggenggam erat kedua tangan kekasihnya yang bergetar.

Lama Karyadi meyakinkan hingga akhirnya Minarsih melunak dalam tangsinya.

"Dik, jika dalam tiga tahun tidak ada kabar dariku, jangan kau tunggu aku, lupakanlah aku," ucap Karyadi kali ini dengan deraian air mata yang mengalir deras.

Minarsih memandang sendu wajah Karyadi sambil membasuh lembut air mata yang mengalir dipipi kekasihnya. "Cukup sudah mas, perpisahan itu sudah berat bagiku, jangan tambah dengan kalimat yang menusuk hati itu. Aku akan setia menunggumu sayang karena aku yakin kamupun begitu padaku." Merekapun saling berpeluk mesra seolah besok adalah hari perpisahannya.

Terimakasih talah membaca jangan lupa dukung aku Follow dan votenya ya. Lanjut Yuk ke Bab II

Kunamakan Kau BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang