Bab 3 "Mencoba bertahan"

3 2 0
                                    

Matahari kembali menyapa, langkah cepat para pengguna jembatan mulai terdengar. Suara kendaraanpun semakin jelas mengusik. Karyadi tersadar dari tidurnya. Didapatinya Menul tengah menikmati sepotong roti lengkap dengan susu kemasan kotak sambil berdiri agak jauh darinya.

"Menul, dari mana roti dan susu itu kamu ambil?" tanya Karyadi terkaget. Menul tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang menggeleng. Karyadi hendak berdiri merebut roti dan susu ditangan Menul karena khawatir didapat dengan cara tidak halal. Tapi sesaat ia hendak berdiri, didapatinya sejumlah uang berjatuhan dari kaki. Upayanya untuk berdiri terhenti. "Alhamdulillah masih ada orang baik di kota besar ini," serunya dalam hati.

Karyadi memandang wajah Menul seolah mendapat sebuah ide, "Menul alhamdulillah kamu bisa makan enak, Menul mau makan apa? Nanti ayah belikan," ucapnya penuh riang. "men, mmen," Menul kecil memang belum begitu paham akan makanan, yang ia tahu hanyalah permen. Karyadipun segera beranjak menggendong Menul hendak menuruni tangga penyeberangan untuk memenuhi keinginan Menul.

Saat menuruni tangga, tiba-tiba seseorang berbadan kurus, bertato serta berperangai seram menarik tangan Karyadi sekaligus memeluk dengan sikap intimidatif. "Woi! Lu pengemis baru ya, lu tau nggak ini daerah gue, jangan coba-coba masuk tanpa izin gue, ngerti lu!" bentaknya. Betapa kagetnya Karyadi mendapat perlakuan itu, kakinya bergetar hingga lemas.

Melihat sikap Karyadi yang ketakutan, orang bertato itu semakin menekan. "Bayar lu sama gue! Sini duit lu!" bentaknya lagi. Karyadi yang ketakutan langsung menyerahkan uang yang didapatnya dari orang. Tapi lelaki bertato itu nampaknya kurang puas. "Waah, lu mau kadalin gue ya rupanya, kalo sampe masih ada gue gamparin ya...keluarin semua uang lu cepet!" Karyadi merasa panik hingga mengeluarkan seluruh uang termasuk sisa dari Tarso.

Karyadi hendak menyampaikan bahwa itu bukan uang dari hasil mengemis, melainkan dari temannya, namun kalimat itu tidak terucap karena khawatir masalah menjadi panjang dan berdampak pada Menul. Setelah merasa puas, lelaki bertato itu segera pergi dengan wajah puas.

Karyadi segera memeluk Menul dan menggendongnya. "Atut," ucap Menul dengan bahasa cadel ala anak kecil yang berarti takut. Karyadi berusaha menyembunyikan wajah paniknya dengan senyuman meski hatinya sakit dan menangis. "Udah nggak usah takut, selama kita percaya Allah, semua akan baik-baik saja," ucap Karyadi menenangkan Menul.

Satu masalah selesai, namun masalah lebih besar menanti. Kini Karyadi sama sekali tidak memegang uang. Ia begitu bingung bagaimana harus makan hari ini. Namun tidak ada kata lain yang keluar dari mulutnya selain "Alhamdulillah." Ia bersyukur karena yang hilang hanya uang bukan Menul atau nyawanya, selain itu sejak pagi Menul sudah makan sekalipun dirinya belum. Ia terus belajar mensyukuri atas apa yang terjadi.

"Menul, beli permennya kita tunda dulu ya sayang," ucapnya pada Menul lalu kembali melangkah, sambil berpikir. Diamatinya sepanjang jalan ada begitu banyak kios dan gedung perkantoran. Kini terbesit dalam kepalanya untuk mendatangi setiap kios dan gedung perkantoran untuk meminta pekerjaan. Tapi ada satu masalah yang harus ia selesaikan pikirnya. Harus ada tempat yang nyaman bagi Menul saat ia berusaha mencari pekerjaan, dan badannyapun harus bersih.

Karyadi terus berpikir keras hingga ia terhenti disebuah warung makan. Tanpa ragu ia masuk dan hendak menyapa para pekerja warteg.

"Mangan mas," sapa salah satu pekerja warteg lebih dulu. "Oh mboten mbak, nganu...," ucap Karyadi malu-malu. "Kalo boleh saya mau bantu-bantu kerja di sini, nyuci-nyuci...mmm nggak usah dibayar dengan uang, cukup satu piring saja." Perempuan itu hanya diam lalu saling berpandangan dengan pekerja lain disitu.

"Wah maaf mas, yang punya lagi nggak ada," jawabnya ringan. Karyadi agak kecewa dengan jawaban itu, namun tidak mau memaksakan kehendaknya. Karyadipun segera bergegas keluar setelah sebelumnya berterimakasih.

Ia tidak menyerah begitu saja, setiap kios dimasukinya untuk meminta pekerjaan namun jawaban yang ia terima sama saja, penolakan. Pengalaman akhirnya menyadarkannya bahwa tidak sembarang orang bisa memasuki gedung perkantoran. Penampilan kucelnya menyebabkannya diusir oleh petugas. Seberapa teguhpun Karyadi memberi penjelasan pada setiap petugas penjaga gedung yang hendak ia masuki, jawaban dan cara pandang petugas terhadapnya tetap sama.

Tekadnya sudah bulat karena hari ini ia harus memastikan minimal Menul makan, karenanya Ia terus melangkah sembari menggendong Menul hingga langkahnya terhenti di sebuah Masjid. Ia masuk dan meminta izin pada marbot yang tengah bersih-bersih untuk membersihan diri karena hendak mandi. Sungguh baik marbot itu, ia memberinya sabun karena melihat tubuh Karyadi yang begitu kotor.

Waktu telah menunjukkan jam satu siang. Kewajiban akan Sholat telah Karyadi tunaikan. Kini kepalanya kembali ia pusatkan pada Menul yang sejak tadi telah rewel karena lapar. Rasa lapar, lelah dan bingung yang Karyadi rasakan memancing amarahnya untuk membentak Menul. "Sabar! Semua juga lapar!" Namun penyesalan langsung menyelimutinya, apalagi saat melihat Menul menangis terisak-isak. Dipeluknya Menul dengan penuh penyesalan.

Waktu berjalan hingga menjelang sore, rasa lapar membuat Menul tertidur. Sementara Karyadi menangis karena tubuhnya semakin lemas, sejak pagi belum mendapatkan makanan dan minuman. "Mas...mas...," suara seorang lelaki muda menyadarkannya. Karyadi menoleh ke lelaki itu dengan lemah. "Maaf mas, ini ada sedikit rezeki, mohon diterima ya," lelaki itu melanjutakan ucapannya seraya memberikan dua bungkus nasi lengkap dengan dua ikat plastik es teh manis.

"Terimakasih..terimkasih," ucap Karyadi sembari berusaha mencium tangan lelaki baik itu. Tetapi lelaki itu tidak bersedia diperlakukan seperti itu, "jangan berterimaksih pada saya mas, tapi pada Allah," ucapnya lalu pergi begitu saja.

Hari kedua ini Karyadi kembali merasakan langsung sifat Maha Pengasih Allah SWT dengan dihadirkannya seorang lelaki muda nan dermawan yang rupanya mendapati Karyadi saat menangis. Dua bungkus nasi mengisi perutnya dan Menul, satu bungkus dimakan siang dan malamnya satu bungkus yang lain.

Terimakasih talah membaca jangan lupa dukung aku Follow dan votenya ya. Lanjut Yuk ke Bab IV

Kunamakan Kau BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang