Hanya angka kata orang. Sialan, dia tak mengerti bagaimana rumitnya menghitung angka sambil melibatkan perasaan.
---•••---
Langkah kaki Agnia terhenti, ia pandangi sekeliling yang mulai ricuh, sebagian dari mereka berbisik bahkan memotret kehadiran Agnia, termasuk seseorang yang saat ini memberikan kritikan bahkan informasi yang salah.
"Sepertinya kita akan tenar hari ini," Nadya menatap. "Duduklah mbak, banyak hal yang akan saya bahas denganmu, untuk pertama kali dan juga terakhir," tambahnya.
Agnia menurut, meski tak berbicara ia mengikuti perintah wanita dengan polesan cantik di wajahnya, wanita yang duduk di hadapan Agnia saat ini artis terkenal, wanita yang sekarang memandangnya dengan sangat lekat, tunangan dari Eric, mantan kekasihnya.
"Mau aku pesankan minuman?"
Agnia menggeleng. "Tidak perlu, bicaralah sekarang, karena waktuku terbatas."
Nadya tergelak, ia memutar sedotan di dalam gelas sesekali memperhatikan Agnia yang tampak sangat datar.
"Apa yang membuatmu sibuk, bukankah Sean sudah mati?"
Agnia bergeming di tempat.
"Baju hitam yang kamu pakai sungguh pas sekali denganmu, sama persis dengan hatimu saat ini, iya kan?"
"Apa yang kamu coba katakan Nadya? Berbicaralah yang jelas."
"Akhirnya kamu bersuara juga," Nadya menegakan kepalanya lalu bersedekap. "Sebenarnya, pembahasan kita kali ini mungkin sudah kamu ketahui_"
"Tentang Eric?"
Nadya mengangguk. "Apa lagi, bukankah hanya dia yang membuatku menyuruhmu untuk datang."
Sejenak hening, Nadya kembali membuka mulut untuk berucap. "Kamu membunuh Sean agar bisa kembali dengannya?"
Suara dengan intonasi sedikit meninggi dari Nadya membuat mereka di sana berlomba mendengar, berbisik bahkan memposting apa yang baru saja mereka dengar, sedangkan Agnia tertegun dalam kedipan sendu di kedua matanya.
"Kamu sengaja melakukan ini, kan? Kamu membiarkan lelaki itu mati dan datang ke pemakamannya, menangis terisak di sana seolah kamu paling tersakiti, pada kenyataannya, kamu tertawa dengan girang."
Saat sorot mata menajam dari Agnia menyapanya, Nadya justru terkekeh.
"Kenapa? Mengelak?" ia menoleh untuk membuang napas gusar, setelah itu melepas dekapan dan memandangi wajah Agnia cukup lekat.
"Pergi dan jauhi Eric, jika perlu ke neraka mengikuti langkah Sean. Jangan pernah datang lagi mbak, jangan mengganggu hubungan saya dengan Eric."
Agnia menunduk, ia netralkan semua detakan yang mengurung dan kembali mengangkat wajah.
"Aku tak ingin berbicara denganmu Nadya, karena hanya membuang-buang waktu, semua yang akan aku ucapkan tak mungkin sampai dalam otak kecilmu itu. Tetapi satu hal, izinkan aku melakukan ini untuk melepas semua kesakitan dan amarah sebelum pergi."
"Apa maksudmu?"
Bangkit Agnia dengan cepat lalu meraih jus yang berada di hadapan Nadya, dengan cepat bahkan belum sempat Nadya beranjak, air dingin itu menenggelamkan seluruh wajah hingga mengenai bajunya.
Semua syok, berdiri mereka sambil mengatupkan mulut, begitu juga dengan Nadya, enggan mengusap ia hanya menatap tanpa persiapan.
"Mbak! Apa kamu gila!"
"Kalau gitu, aku pamit_"
"Tunggu, sialan!" Nadya mencengkram lengan Agnia sehingga wanita itu terhenti hendak melangkah, saat tatapan mereka beradu Nadya mengeratkan rahangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Luka [END]
RomanceAgnia tak menyangka, hubungan yang terjalin lebih dari 10 tahun kandas dalam waktu beberapa detik bahkan dengan satu kata. *** Agnia Pras Rysa, wanita cantik berusia 25 tahun itu seolah menyia-nyiakan waktunya untuk lelaki bernama Eric Mahesa. Perja...