33. Hanya Salah Satu Yang Mati

6.2K 419 28
                                    

Izinkan sekali lagi saja aku bertemu denganmu hanya untuk mengakhiri hubungan ini secara baik-baik. Setelah itu, lupakan aku.

---•••---

Agnia meremat cincin yang berada dalam genggaman, hatinya terasa disayat pedih, apalagi setelah mendengar kalimat terakhir dari Eric, berhasil membuat ia diambang rasa rapuh.

"Kamu menghubungiku lagi hanya untuk ini?"

Eric mengangguk.

"Untuk mengatakan bahwa kamu akan menikah dengannya?"

Ia mengangguk lagi.

"Lalu apa sekarang? Bukankah semuanya sudah kamu anggap berakhir saat anniversary kita yang ke sepuluh?"

"Iya, tapi tentang perasaanmu yang sepenuhnya belum pulih, aku ingin mengatakannya sekali lagi Agnia_"

"Perasaanku?" Agnia tertawa di sana, ia ragu meyakini dirinya sendiri, benarkah sudah sembuh atau masih ada sedikit detak di dalam sana untuk lelaki yang bernama Eric.

"Aku sudah melupakanmu Eric."

Eric tersenyum mengiyakan.

"Kamu bercanda?"

Eric menyalangkan matanya lalu menggeleng pelan. "Bercanda? Apa maksudmu?"

"Di mana letak hati nuranimu Eric? Menghubungiku lagi setelah sekian lama, Membawa bunga serta cincin, memakai pakaian dengan warna yang serupa, bahkan suasana ini seperti di hari bahagia kita. Tapi kenyataannya, kamu justru mengakhiri hubungan yang telah lama berakhir."

"Maafkan aku."

"Beberapa hari ini, aku selalu mendengar kata maaf terucap, dan itu memuakkan," Agnia mengangkat wajah memandangi Eric. "Namun, pada kenyataanya, tak satu pun bisa aku beri maaf."

"Aku ingin berbalik badan, mengabaikan dan menyimpan kesakitan ini hingga mati. Kamu tahu kenapa Eric? Agar mereka ikut tersiksa secara perlahan melalui penyesalan."

"Agnia_"

"Aku membenci segala hal di dunia ini termasuk kamu," tekannya. "Aku punya dendam paling abadi untuk orang-orang di sekitarku, dan itu bermula dari kamu," tunjuk Agnia menggebu.

"Hari ini, kamu datang lagi, kamu hancurkan lagi. Semua ini, berakhir dengan dirimu lagi Eric."

Ia hirup udara di ruangan itu dengan sangat brutal, ia hempas kasar dengan debaran sakit yang datang menyeruak.

"Kamu belum puas?" pertanyaan Agnia menyendu, memelan intonasi suaranya karena terasa sangat amat lelah, bahkan air mata dari tangisannya enggan keluar, mereka seolah telah muak untuk terjatuh.

"Masih ingin bermain-main dengan hatiku? Masih ingin menghancurkan perasaanku sekali lagi? Masih ingin merusak otak dan pikiran ini? Kamu menginginkan aku hilang kewarasan Eric?"

"Haruskah aku mati agar kamu bisa menghapus kebencian ini Agnia?" Eric balik bertanya dalam tunduk keresahan, ia tak sanggup menatap netra wanita yang terus memberinya pandangan perih.

"Jika aku bisa menjelaskan kepada kamu kenapa semua ini terjadi, mungkinkah kamu akan mempercayainya? Aku rasa tidak," Eric mengangkat wajah. "Kamu pasti akan menganggap penuturanku hanya sebuah pembenaran."

"Kamu tahu aku dan kisah hidupku, tantangan untuk berada sejajar denganmu membuatku mulai buta dan melangkah sedikit berjarak, pada akhirnya aku menginjak umpan dan aku terjebak. Untuk benar-benar terlepas, aku harus mati, Agnia."

"Kamu tak tahu posisi dan rasa sakitku, dan aku juga tak pandai mengobati luka kamu yang berasal dari diriku yang juga tengah terluka, Agnia."

Bangkit wanita itu setelah mendengar ucapan tanpa bisa ia artikan, dalam senyum tertahannya, Agnia mengulurkan jemari kepada Eric sehingga lelaki itu tertegun tak berkutik.

Titik Luka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang